Hari ini adalah hari Senin dimana orang-orang dengan
semangatnya mengawali rencana yang telah mereka buat untuk satu minggu ke depan.
Pada hari itu aku yang terbangun agak siang dari biasanya langsung mengoletkan
badan, sedikit demi sedikit kutatap dunia sekitarku yang masih agak buram,
kukedipkan mata, terpejam kembali, berkedip lagi dan kembali terpejam, lalu
kuhirup udara dalam-dalam dan perlahan kulepaskan, "Haaaaah Alhamdulillah!" Seketika terbayang bahwa hari ini adalah hari yang padat dengan jadwal mata
kuliah satu hari penuh, belum lagi tugas yang menumpuk bak uang yang ada
di Bank Indonesia.
Masih dalam mata yang belum sempurna melirik keagungan Tuhan yang Maha Kuasa, terbayang wajah seorang teman kuliah yang menjadi
primadona kelas berkat pesonanya yang WAHHH dibanding teman-temannya yang
lain. “NGATNIKA! Opo leh Ngat!!”, begitu slogan teman-teman menyapa srikandi
ini.
Sifatnya yang lembut gemulai hampir setara dengan putri Solo saat ia
merayu kandanya menari, belum lagi penampilannya yang selalu sopan dan elegan
untuk dipandangi.
"Mubadzir kubro", Udin, temanku menyebutnya bila terlewatkan.
Wajahnya putih bersih berseri dengan rona yang selalu membuat semua orang
menggelitik tersenyum ikhlas, dipagarinya dengan kerudung, diimbangi dengan sikapnya
yang selalu meneduhkan pandangan pancarkan keanggunan yang sempurna.
Seakan seluruh masalah hidup kami rontok sesaat setelah melihatnya.
"Tak ada gading yang tak retak", celetuk Udin seketika
saat kami berdebat saling menilai siapa yang menawan diantara wanita tertawan
seantero kelas kami. ”Ada kekurangannya man!”, lanjutnya.
Ya! Tapi bagiku itu hanyalah
penyempurna dan "pembeda" yang dianugerahkan Tuhan padanya. Aku memberi
pembelaan ketika itu bahwa saat seseorang telah terperanjat ke-maha eksotis-an
perempuan (layaknya aku ini) ia akan selalu mencari sisi positif dari
hal-hal yang dianggap orang lain sebuah kekurangan. Bagiku kekurangan itu ialah
sebuah ciri khas yang nyentrik, yang membuat semua orang (terutama aku) menunggunya meski hanya sebagai hiburan dengan lahirnya tawa kami, entah
karena gemasnya atau entahlah yang membuat kami semua tertawa.
Suatu hari aku beserta kelompok mendapat giliran untuk
berpresentasi suatu makalah. Aku yang memburu perhatian tak mau begitu
saja menyia-nyiakan kesempatan yang baik ini dengan mempersiapkannya jauh-jauh
hari supaya dalam presentasi nanti terlihat keren. Karena asumsiku pada event
seperti itu, maka seluruh pasang mata akan tertuju padaku, pada saat itu pula
aku menjadi objek perhatian tunggal, dan inilah kesempatan emas 24 karat itu
merengkuh perhatian Nica.
Selesai aku memperlihatkan aksiku berpresentasi,
tibalah saat tanya jawab. "Kepada teman-teman yang ingin menanggapi,
bertanya atau mungkin ingin menambahi kami persilahkan!”
Dengan santunnya Udin
yang saat itu menjadi moderator mempersilahkan teman-temannya. Tak ada
sepersekian detik Ngatnika! Dengan cekatannya mengangkat tanggan dan betapa
bangganya aku, tubuhku terguncang serasa ingin terbang ke angkasa.
“Alhamdulillah, gak sio-sio!!”, spontan dalam hatiku bersyukur pada Tuhan.
Andai
saat itu aku tak duduk di atas kursi mungkin ke-spontan-an kubisa lebih parah. Meloncat? Sujud syukur? Bikin status di medsos? Atau sebagainya sebagai tanda
betapa senangnya diriku.
”Iya mbak Nica (sapaan kerennya) silahkan!!”, Udin mempersilakan.
Sebelum
Nica melontarkan pertanyaan, dengan tidak sopannya sambil meletakkan tangan
di mulut dan menundukkan kepalanya Udin menggumam, “ehmmmmmmmmm”. Sontak tawa pun
pecah dan kelas yang tadinya hening berubah seperti pasar yang gaduh dengan
hiruk pikuknya karena tawa semua orang di dalamnya, bahkan dosen kami yang
terkenal tak pernah "kelihatan giginya", kali ini terpaksa mencabut predikat
tersebut dengan memperlihatkan gigi beliau karena tertawa.
Inilah yang dikatakan Udin sebagai sisi kekurangan seorang
Ngatnika, ketika berbicara, tak lepasnya ia bergumam, “emmm”, di cela-cela
pembicaraannya. Seketika itu pula fatwa pun lahir menghujat gadis ini. “Haha,
hadza min patologi lughoh”, dengan bringasnya Dul Nasrul berkata, ada juga
yang menirukannya hingga tawan teman-teman sekelas pun semakin tak terelakkan.
Masih dengan kegaduhan yang belum usai, aku yang saat
itu tak tertawa sendiri berfikir, "benarkah ini termasuk sebuah patologi bahasa?"
Padahal
patologi sendiri didefinisikan sebagai gangguan atau kelainan dalam proses dan produksi bahasa yang disebabkan kerusakan organ bicara (alat
ucap), neurologi bahasa, kognisi otak, mental baik bawaan maupun penyakit atau
terasingkan dari masyarakat bahasa sehingga tidak mampu berkomunikasi dengan
baik. Jadi patologi itu bagi orang yang tidak normal organ bicaranya, atau
terasingkan dari masyarakat bahasa, atau mungkin karena mental atau kejiwaannya
terganggu. Dan bagiku Ngatnika itu terlepas dari semua masalah ini, entah
karena aku yang telah terhipnotis oleh pesonanya sehingga tak kudapati kekurangan
pada dirinya. Karena ketika insan telah jatuh cinta maka tak ada sedikit pun
ruang untuk logika masuk didalamnya, yang ada semua adalah indah dan benar.
Yang pasti kelainan yang menyebabkan kesulitan dalam berbahasa sehingga orang
yang mengalami gangguan akan kesulitan berkomunikasi dan berujung pada ketidak
fahamannya orang yang ia ajak bicara, sebab fungsi utama bahasa ialah alat yang
digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat untuk berinteraksi dan
mengidentifikasi dirinya.
Ketika aku melakukan interaksi dengan Nica maka
menjadi barang tentu aku memahami dengan sepenuhnya. Lagi-lagi entah apa karena
pada saat itu aku menjadi terfokus pada proses berbahasa sebab terperanjat
pesonanya, sehingga meskipun ia merasa grogi aku tetap memahaminya,
atau mungkin ia benar-benar bukan orang yang terkena patologi bahasa.
Waktu berjalan dengan cepatnya, hingga usailah
perkuliahan kami dengan masih serunya teman-teman memperbincangkan
EEMMMnya Nica. Sedangkan aku masih tetap dengan penasaranku dan pertanyaan
besar dalam benakku, “benarkah itu sebuah patologi? Dan karena hal itu masih
menyangkut proses berbahasa, adakah kajian khusus mengenai hal ini dalam
psikolinguistik? Karena ilmu ini memiliki kajian pokok pada proses mental yang
dilalui oleh manusia dalam mereka berbahasa”.
Saat semua teman telah beranjak dari kelas untuk
sesuatu yang lain, aku masih saja di tempat dudukku, dan saat aku keluar dari
kelas, kudapati temanku Nica itu duduk sendirian di depan perpustakan dengan
ceria meskipun baru saja ia kena sindiran oleh teman-temannya. Tanpa
berfikir panjang kulangkahkan kakiku menghampirinya. “Hai! Boleh aku duduk?”, tanyaku sok manis dan sok kalem berharap ia menerima kehadiranku. Meski tak
mendapat jawaban darinya aku pun duduk di sampingnya karena senyum dengan
anggukan kepalanya serta gestur tubuh yang membuat aku faham bahwa ia
mempersilahkan aku untuk duduk disampingnya. Aku yang menghampiri berarti aku
yang harus mengawali pembicaraan begitu hati berkata.
“Teman-teman kenapa ya? Kok berisik sampai segitunya?. Emang kalo boleh tau dan maaf sebelumnya EEMMmu itu
gak bisa dihilangkan ya?” aku yang sebelumnya enggan mempersoalkan hal ini
padanya pun memberanikan diri dengan lancang bertanya langsung kepadanya guna
mengobati rasa penasaranku.
“Mbah mbah (sapaan akrabku oleh semua teman
kelasku) ngono kok dimasalahke tenanan, nganti mrepeng iku lho wajahmu perkoro olehmu takon (gitu aja kok jadi masalah serius itu lho wajahmu sampai tak karuan)”, dengan wajah
tersenyum mengejutkanku ia menjawab.
Karena kukira ia akan marah dan ternyata
semua tak seburuk yang aku kira. “Gimana ya?” lanjutnya dengan sumringah. “Aku
ya ingin EEMM itu hilang, tapi saat aku berbicara seolah tanpa aku sadar
EMM itu pun muncul dengan sendirinya”. Masih dengan sumringahnya ia pun menceritakan perihal yang berkenaan dengan masalahnya padaku. "Penyebabnya aku juga
kurang tahu, yang pasti jika aku berbicara dengan temanku, bapak, ibukku EMM itu tidak muncul, kebiasaan EMM muncul itu saat aku berbicara di depan khalayak ramai
lebih-lebih jika pembicaraan itu syarat dengan berfikir seperti saat aku ingin
bertanya waktu kau presentasi tadi!" Aku dengarkan curhatannya dan hanya
bisa asal mengangguk.
"Awal dari semua itu bermula saat aku
duduk di bangku kelas 2 aliyah dimana aku sudah mulai berani berbicara di hadapan
orang banyak dalam situasi yang serba formal . Sehingga ya secara tidak sadar rasa grogi menghampiri,
dan gumaman EEMM pun mulai menjadi sahabatku. Kini, berhubung makin ramainya EMM itu
dibicarakan oleh teman-teman dan membuatku kurang percaya diri, maka itu
menjadi sebuah motivasi untuk melenyapkan EMM dariku. Dan alhasil menurutku
kini tak separah dulu”, lanjutnya dengan menutup mulutnya ia kembali tertawa lirih.
Setelah pertemuan itu aku semakin yakin bahwa ini
bukanlah merupakan penyakit seperti yang dikatakan oleh teman yang lain. Setelah selesai berbincang, maka kuputuskan untuk mencari referensi yang
berkenaan dengan ini supaya aku bisa memerangi dan membenarkan ejekan yang
ditimpalkan pada Nica dan kukatakan dalam hatiku bahwa ini adalah bentuk dari pembelaanku padanya.
Setelah mencari kesana kemari diantara rak-rak buku
dalam perpustakaa. Ku buka satu per satu buku yang ada, kulihat daftar isinya
sampai akhirnya ku menemukan buku karangan Soejono Dardjowidjojo yang berjudul "Psikolinguistik". Pada bab produksi kalimat di sana dipaparkan bahwa adanya "senyapan" saat orang memproduksi kalimat. Senyapan itu bisa dikarenakan
kita bernafas atau ragu-ragu. Alasan yang dituliskan mengenai senyapan itu
di antaranya ialah;
Pertama, orang "senyap" karena ia telah terlanjur mulai
dengan ujarannya, tetapi ia belum siap untuk seluruh kalimat itu, karena itu
ia mencari kata dalam senyap untuk melanjutkan dan melengkapi kalimat tersebut. Kedua karena dia lupa akan kata-kata yang dia perlukan, oleh karena itu dia
mencarinya untuk melanjutkan ujaran. Ketiga, dia harus hati-hati dalam memilih
kata. Dari sini aku mulai menemukan jawaban mengenai kasus EMM-nya Nica ini.
Masih dengan buku yang sama, aku masih saja asik
menelisik buku ini hingga benar-benar kutemukan kejelasan. Di sana dijelaskan bahwa senyapan sendiri terbagi menjadi dua macam, yaitu senyapan
diam dan senyapan berisi. Pada senyapan diam pembicara berhenti sejenak dan
diam saja lalu setelah menemukan kata-kata yang dicari dia melanjutkan
kalimatnya. Contoh saat aku menanggapi pertanyaan saat presentasi aku bilang
“menurut saya. . .hal itu kurang tepat”. Untuk macam yang kedua
ini mungkin menimpa Nica tadi, ia mengisi
senyapan dengan bunyi-bunyi tertentu yaitu bunyi EMM. Akan tetapi terkadang
senyapan bersuara itu juga tidak selalu dengan bunyi, kita juga sering
menjumpai orang mengisi senyapan dengan kata-kata tertentu seperti "anu", "siapa itu", "apa itu". Seperti saat orang melihat Aziz ponakannya yang
kebetulan pada saat itu ia lupa sejenak nama ponakannya itu, “itu kan si siapa
itu, Aziz ya!?”.
Selanjutnya, keterangan yang aku peroleh jika Nica bilang kalau EMM-nya itu hadir terlebih
saat ia berfikir maka kemungkinan ia terkena keraguan dalam memproduksi kalimat
senyapan. Hal ini terletak pada sesudah kata pertama dalam suatu klausa atau
kalimat, ada lagi yang mengatakan bahwa senyapan ini terdapat sebelum bentuk
leksikal yang penting begitulah para linguis saling berargumen. Namun demikian,
nampaknya ada tempat-tempat di mana para ahli sepakat yakni, jeda gramatikal, batas konstituen yang lain dan sebelum kata utama pertama dalam konstituen.
Jeda gramatikal adalah tempat senyap untuk
merencanakan kerangka maupun konstituen pertama dari kalimat yang akan
diujarkan. Sedangkan pada batas satu konstituen dengan konstituen yang lain,
orang juga bisa senyap karena di sinilah orang merencanakan rincian dari
konstituen utama berikutnya. Dan untuk tempat yang ketiga yaitu sebelum kata
utama pertama dalam konstituen. Setelah kerangka terbentuk maka konstituen
harus diisi dengan kata-kata. Sebagai contoh saat orang Inggris telah
mengucapkan kata "the" maka ia biasanya terdiam untuk melanjutkannya.
Setelah kulewati beberapa halaman, maka dapat saya
simpulkan bahwa senyapan itu pada umumnya ada di tengah-tengah pembicaraan. Yang
membuat saya bertanya-tanya selanjutnya ialah, lalu senyapan macam apa yang ada
pada Nica itu? Karena ia memunculkan suara EMM pada saat mengawali pembicaraan.
Asumsi saya mengapa hal ini terjadi? karena ia masih belum tenang saat
mengutarakan pendapatnya di depan teman-temannya, alhasil apa yang ia
fikirkan pun bisa jadi hilang seketika saat ia akan mulai pembicaraan dan
terpaksa memikirkan kembali sehingga lahirlah EMM itu, atau mungkin kini EMM
itu memang sudah menjadi bagian dari dirinya, sehingga ia merasa ada yang
kurang jika berujar tanpa adanya EMM.
Dengan pengakuannya jika EMM itu kini sudah tak separah
dulu, maka bisa aku simpulkan bahwa dengan ketenangan saat berujar dan memupuk
kepercayaan dan bekerja keras untuk menghilangkan EMM dari dirinya akan membuat
EMM saat berujar benar-benar hilang, karena alangkah baiknya hal itu memang
sesegera mungkin dihilangkan jika ia menghendaki suatu pengujaran yang ideal,
yaitu ujaran yang lancar sejak ujaran itu dimulai sampai ujaran tersebut
selesai. Dan kata-katanya terangkai dengan rapi, diujarkan dalam suatu urutan
yang tak pernah putus, dan kalaupun ada senyapan, senyapan itu ada pada
konstituen-konstituen yang memang memungkinkan untuk disenyapi.
Pada saat aku membaca buku itu, tak sengaja Nica
berada di dalam perpustakaan untuk mengerjakan tugas dan saat aku memandangnya entah
itu disengaja atau tidak, iapun memandangku sambil tersenyum seraya berkata
dengan suara keras dan sedikit menyentak-nyentak dan betapa terkejutnya diriku,
ini bukanlah Nica yang selama ini kukenal “Choleq….ndang tangi!! Wis awan
le, dikandani bar subuh ojo turu kok ora ngandel, marai kere le… kui sarapan
karo kopine wis siap, udud e Surya 16 jupuk dewe ning nduwur lemari”. Aku tambah
terkejut jika kali ini suaranya mirip dengan suara ibuku, dan GUBRAKK!! aku terjatuh dari ranjang dan ku akhiri lamunan ku pagi itu dan tersadar bahwa semua
itu tadi hanyalah ilusi belaka.
NB: Cerita ini hanyalah fiktif belaka, apabila
terdapat nama tokoh dan jalur cerita yang sama maka itu hanyalah suatu
kebetulan saja. Tentunya cerita ini saya buat sebagai bentuk penjabaran tugas kuliah. Hahaha☺☺☺
0 Response to "EMMM"
Post a Comment