Saat itu tepat pada bulan Agustus dimana musim kemarau melanda semua daerah di negara Indonesia. Seperti biasanya, saat adzan subuh berkumandang maka para santri di pondok pesantren kami bangun dari tidurnya, ada juga yang terbangun, adapula yang terbangunkan, bahkan satu di antara kami ada yang bangun membangun akan tetapi tertidur kembali, entah! Dinginnya suhu yang menyelimuti udara begitu menggigil bagi para santri, namun terlepas dari semua itu ada saja santri khos yang sudah bangun sebelum adzan berkumandang untuk melakukan qiyam al-lail lengkap dengan dzikirnya hingga sholat subuh berjama'ah.
Lumrahnya di pondok pesantren, maka setelah usai berjamaah shalat subuh kami bergegas untuk mengikuti kajian kitab kuning yang langsung dipimpin atau dibacakan oleh Kyai kami. Ada kalanya Kyai tidak langsung memulai pengajian ba’da subuh, akan tetapi beliau masuk ke dalam ndalem -kami menyebutkan rumah Kyai- sekedar mengambil sesuatu atau yang lain seperti halnya yang terjadi pada hari ini.
Salah satu ciri khas majelis pengajian yang ada di pondok kami ialah para santri berkumpul dan bersiap-siap di area majelis di awal waktu sedangkan Kyai rawuh belakangan. Ada saja aktifitas para santri untuk mengisi waktu senggang menunggu Kyai. Ada yang menambah tidurnya yang belum puas seperti yang dilakukan Kang Salam dan Kang Baidlowi, atau Kang Aziz yang membaca dan meraba-raba isi kajian yang akan dikaji hari ini, ada pula yang memilih diam dan asyik menulis kata mutiara di secarik kertas seperti Gus Anam yang jauh-jauh nyantri dari negeri seberang. Dan lain sebagainya.
Di tengah kesibukan masing-masing santri maka ada pula yang secara tidak sengaja membuat majelis sendiri. Topik yang mereka pilih mengalir bagaikan sungai yang sempat macet saat kemarau seperti ini. “Usum wit kopi semi rek, makane uatise ngene, brrrr” (sedang musim pohon kopi bersemi kawan, makanya dingin seperti sekarang) celetuk Kang Salim memulai pembicaraan. Kang A’an yang sedari tadi gemetar badannya serta sibuk membungkus telapak kakinya menggunakan sarung dengan tangan yang mendekap pun mencibir ramalan mistis itu, “ah, mana ada pohon kopi di kampung ini? Kalau pun ada itu di kampung sebelah, dan mustahil efeknya sampai sini”. Tanpa diberi kesempatan untuk bicara, Kang Fauzan yang baru datang ikut menyumbang omongan, “Gini lho, ini kan musim kemarau”, sambil membenahi jaket yang ia kenakan supaya udara dingin tidak menyeruak ke pori-pori tubuh. Ia melanjutkan pembicaraan, “Maka posisi matahari itu lebih jauh daripada saat musim hujan, itu sebabnya mengapa di saat musim kemarau seperti ini kok dingin banget, akan tetapi ketika hujan hendak turun suhu meninggi dan terasa gerah”.
Hawa dingin pun semakin dingin ketika Kang Salam yang terkenal santri radikal, dan selalu mengungkapkan pendapat dengan kritis tetapi terkadang tak logis ingin berbicara dan terkadang berbicara dengan nada tinggi serta meruntuhkan pendapat yang sebelumnya, “emmmm” sambil membusungkan dada ia terlihat begitu percaya, “kabeh ora masuk akal!!!” (semuanya tidak masuk akal!!!). Baru sekecap ia berkata semua santri langsung antusias mendengarkan, sambil mengarahkan pandangan terhadap Kang Ahmad mereka menunggu kelanjutan ucapannya. Namun tak lama berselang maka datanglah Kyai, dengan wibawanya beliau langsung menempatkan diri di depan para santri dan memecahkan semua hiruk pikuk majelis kecil dan mampu membuat santri tunduk dan termangu penuh konsentrasi tanda siap untuk mengikuti pengajian. ”Al-Fatihah”, begitu Kyai mengawali setiap pengajian.
Pengajian pun langsung dimulainya, dan tak ada tingkah kecuali suasana damai, tenang dan suara dalam Kyai yang memecah hening nya pagi itu.Saat itu kami sedang mengaji tentang qodlo’ dan qodar atau takdir yang merupakan salah satu dari rukun iman yang berjumlah 6.
Begitu selesai pengajian, maka tidak ada satu santri pun yang berani meninggalkan majelis, sebelum Kyai meninggalkan majelis tersebut terlebih dahulu. Kang Ahmad yang dari tadi terbawa oleh kewibawaan Kyai pun terpaksa tidak melanjutkan omongannya sebelum pengajian tadi. Akhirnya berceloteh seakan mengungkapkan gagasan yang tadi gagal dilontarkannya “atis, anget, srengenge cedak tah aduh, iku ora opo-opo, sing ndadek ake atise isuk iki, iku yo anci wis taqdire Gusti Pangeran” (dingin, panas, matahari dekat atau jauh, itu tak masalah, yang menjadikan dinginnya pagi ini, adalah takdir Allah SWT). Dengan kata-kata yang begitu tenang akibat terpengaruh ketenangan yang ada di pengajian yang dipimpin Kyai lalu diikuti Kang Ahmad ini rupanya mampu menggelitik seluruh santri yang ada, begitu ucapan itu terlontar maka tak ada satu pun santri yang berani mengungguli pendapat Kang Ahmad ini. Santri menganggukan kepala dan satu persatu meninggalkan majelis.
Singkat cerita, pada siang harinya para santri kerja bakti membersihkan seluruh area pesantren. Karena pada hari itu bertepatan hari libur untuk masuk madrasah, begitu pula yang dilakukan oleh Kang Ahmad. Pagi atau tepatnya di fajar yang begitu dingin ternyata dibalikkan oleh udara siang hari yang begitu panas hingga kulit pun berubah kemerah-merahan oleh sengatan cahaya sang surya.
Akhirnya tibalah saat untuk istirahat dimana semuanya telah kelar dikerjakan. Seluruh santri berpindah aktifitas, sebagian ada yang mandi, mencuci pakaian yang menumpuk layaknya uang yang ada di kantor perpajakan, ada pula yang berkumpul menikmati es yang dibelinya dari warung.
Lain halnya dengan santri yang lain, Kang Ahmad malah hendak mengambil kelapa muda milik Kyai. Dengan mengulung sarungnya dan menjadi sorotan banyak santri, Kang Ahmad tetap melanjutkan misinya mengambil buah kelapa muda Kyai yang berada di samping ndalem. “Medun Mad, kon durung izin Kyai, iso-iso kualat kon” (Turun Mad, belum izin Kyai, bisa kualat kamu!), teriak Kang Salam tepat dibawah pohon itu. Sambil menghirup nafas dan senyum sumringah Kang Ahmad menimpali, “Pye tah? Pye?”. Sambil menghadap ke bawah ia mengoceh, “Tenango, mengko tak bagehi sampeyan” (tenang saja, nanti saya bagi), nadanya yang agak kengapak-ngapakan menggemparkan para santri. Ada yang bergumam dalam hati, “Edan Kang Ahmad iki” (Kang Ahmad sudah gila), ada pula yang penasaran kenapa Ahmad kali ini melakukan hal segila itu.
Baru separuh dari pohon yang Kang Ahmad berhasil panjat, keluarlah Kyai dengan rona yang begitu menyegarkan. Para santri yang melihat beliau pun langsung minggir dan berpergian karena pakewuh, meskipun ada pula sebagian yang melihat dari kejauhan atau bahkan mengintip dengan penuh rasa penasaran apa yang akan dilakukan oleh Kyai kepada Kang Ahmad.
Kang Ahmad yang melihat respon positif Kyai pun melanjutkan panjatannya, ia merasa telah mengamalkan ilmu yang baru tadi fajar ia pelajari dari Kyai, bahwa semua yang terjadi adalah kehendak Allah SWT, takdir dariNYA, jadi kita hanya bisa menerimanya. Di tengah-tengah gumamannya Kang Ahmad pun berkata kepada Kyai, “Yai, niki niku minongko takdiripun Gusti Allah, kulo ditakdiraken mundut degane panjenengan detik niki” (Kyai, apa yang saya lakukan sekarang adalah takdir Allah SWT, saya ditakdirkan untuk mengambil buah kelapa anda). Sebab melihat dan mendengar jawaban murid yang satu ini sontak Kyai langsung berubah ekspresi, menunjukan bahwa seakan beliau sedang marah besar. “Yai duko nggeh?”, Kang Ahmad bertanya, “Yai mboten ngiman kaleh takdir kulo bileh mundut degan njenengan detik niki?” (Kyai tidak iman dengan takdir saya mengambil buah kelapa ini?). Dengan tangannya, Kyai mengambil batu kerikil yang berada di bawah pohon dan seakan hendak melemparnya ke arah Kang Ahmad. Namun, GUBBBRRRAKKK!!!! Dengan merintih-rintih minta maaf seraya menyebut-nyebut nama Allah, Kang Ahmad terjatuh. “Ngapunten Yai, Ya Allah Gusti, ngapunten, kulo namung pingin setunggal, tapi sak niki mpun mboten” (maaf Kyai, maaf Ya Allah, saya hanya ingin mengambil satu buah, tapi sekarang tidak jadi). Dengan penuh bijaksana Kyai dawuh, “takdir iku babagan keimanan le, iman iku panggonane neng ati, ora neng cangkem, dadi ojo sekali-kali siro nglahirake neng lisanmu” (takdir bagian dari keimanan nak, iman tempatnya di hati, bukan di mulut, jadi jangan sekali-kali kau ucapkan), dengan merintih kesakitan Kang Ahmad masih meminta maaf, “nggih yai, ngapunten, estu ngapunten” (Ya Kyai, saya sungguh minta maaf). Lalu tanpa banyak bicara kyai meninggalkan Kang Ahmad.
Melihat temannya yang awalnya angkuh lalu terjatuh dan tak berdaya, para santri pun berlarian mendekati Kang Ahmad dengan tertawa terpingkal-pingkal. Di antara mereka datanglah Kang Baidlowi, seorang santri yang ngefans berat dengan budayawan Sujiwotedjo seorang presiden dari Republik Djancukers menghampiri Kang Ahmad sambil memegang perutnya karena kesakitan menahan tawa berkata “Mad Mad, iki lagi takdirmu dino iki, luru degan entuk molo, jan djancuk tenan koen” (Mad Mad, ini baru takdirmu hari ini, mengambil buah kelapa muda malah dapat celaka, memang djancuk kamu Mad). Kang Ahmad yang mendengar celotehan Kang Baidlowi pun ikut tertawa dan suasana yang asalnya hening berubah menjadi canda tawa yang penuh dengan kegembiraan.
Pati, 26 Agustus 2015
0 Response to "Kang Ahmad Dengan Takdirnya"
Post a Comment