Tabarukan - Tafahuman


Embrio tema ini lahir saat penulis ngopi bersama teman dagelan (Huhuuu). Beliau-beliau ini ialah teman penulis saat tidur di pesantren dulu. Pengalaman penulis saat bertemu mereka selalu saja menyenangkan dengan lelucon yang warna-warni. Sangking banyak ngguyunya ketimbang seriusnya saat kami bertemu. Mereka penulis sebut saja bolo ndagel.

Saat itu salah seorang anggota ngopi bercerita terkait pengalaman mengajinya dengan kyai tempo hari. Seperti yang dikatakan penjual bubur asal Madura, teman saya ini kalau ngaji pasti berakhir dengan dua kemungkinan: 1. Kalau ndak ngantuk, 2. Ya tidur. Tidak ada kemungkinan lain yang harus dipaksakan dan diperjuangkan. 

Setelah bercerita dengan intonasi yang sedemikian rupa, mimik wajah yang sedemikian rupa pula, maka pecahlah tawa di antara kami (aku lali lelucone pye, pokok e lucu). Hampir satu menit tertawa, lalu terbitlah keheningan. Sebagian nyruput kopi dari cawik, ada pula yang menyulut rokok dengan korek, meng-kemebul-kan asap ke langit, membalas chat pacar, dan lain sebagainya. Di tengah keheningan itu, teman kami yang awalnya guyon itu lanjut bertutur. Kali ini ia serius dengan intonasi terbata-bata, bibirnya tak se-inchi pun melihatkan gelagat akan tertawa, serta kata-katanya runtut beraturan, "Tapi niatku ngaji dulu kan tabarukan, bukan tafahuman, jadi tak soal lah ngantuk apa tidur". Sontak kami semua teridiam bertanda iya.


Namun, penulis masih saja bergumam dalam hati, bahkan selesai jamaah ngopi itu rampung, penulis masih saja berfikir terkait tabarukan dan tafahuman itu. Hal mendasarnya ialah, ngaji itu bahasa Arabnya thalab al-ilmi. Secara terminologi penulis artikan sebagai kegiatan mencari pengetahuan. Sedang buahnya pasti kefahaman terkait pengetahuan tersebut (tafahuman), bukan keberkahan (tabarukan).

Senada dengan hal itu, pernah kyai kami dianggap melakukan hal yang kontoversial dengan meliburkan kegiatan belajar mengajar madrasah yang beliau mengapunya selama bulan Ramadlan. Sedangkan pada lain hal (jika penulis melihat tradisi Ramadlan di dunia pesantren) banyak madrasah atau pondok pesantren yang mengebut dalam mengaji selama bulan Ramadlan (meski nanti konteksnya beda dengan pesantren, karena madrasah tersebut khusus menampung santri usia anak sekolah dasar), alasan kyai kami sederhana saja, bagaimana jadinya anak yang sedang puasa diajak mengaji di siang bolong. Niscaya mereka akan lemah dalam berfikir dan memahami sesuatu. Hal demikian pernah juga dilakukan Gus Dur saat menjabat presiden. Era Gus Dur dulu, sekolah diliburkan selama Ramadlan. Entah apa alasan pasti Gus Dur waktu itu, namun penulis kira tidak jauh dengan apa yang menjadi landasan kyai kami tadi.

Esensi ngaji itu ya mencari ilmu, bukan yang lain. Kyai Sahal pernah menuturkan (kalau ndak salah) kurang lebih: "mendapatkan ilmu sebab sungguh-sungguh dalam mengaji, kalau keberkahan ilmu sendiri sebab khidmah/ta'dzimmu pada guru-gurumu". Dari sini penulis merasa kurang setuju jika ngaji ialah ajang mencari keberkahan. Jika ini menjadi prinsip dasar santri maka tak bisa penulisa pastikan santri akan merasa malas dalam mempelajari ilmu. Banyak cerita pesantren yang menuturkan sekian alumni pesantren ada yang menjadi seorang yang alim. Padahal dahulu ia jarang belajar. Hari-harinya hanya dipenuhi dengan ngaji sima'an (mengaji dengan cara mendengarkan, biasanya yang melakukan hal ini adalah santri yang tidak memiliki kitab) dan ta'dzim (mnghormati dengan sebenar-benarnya rasa hormat) pada seorang guru. Belum lagi cerita tentang ilmu laduni.

Bahkan tokoh-tokoh besar dalam ingatan mayoritas santri kental dengan amalan-amalan berupa wiridan, tirakat, dsb. Dalam proses menjadikan beliau-beliau menuju tokoh besar. Cerita yang demikian rupanya menggiurkan bagi para santri untuk menirunya. Mereka seakan lupa atau jarang didengarkan cerita bagaimana pahitnya para tokoh itu menimba ilmu dahulu.

Lagi-lagi tentang tafahuman yang penting bukan semata tabarukan yang melenakan itu. Karena terlena, maka saat santri diminta memilih antara belajar dan menyapu rumah kyai (padahal sudah ada jadwal, dan hari itu bukan jadwalnya) sontak ia memilih menyapu atau nderekke (mendampingi) kyai mengisi pengajian di luar kota. (Padahal sudah ada santri lain yang siap mengantar) santri akan gemar nderekke kyai ketimbang belajar. Entah, belajar seakan memang pekerjaan berat yang memiliki godaan berat berupa rasa malas.

Namun demikian, menjadikan tabarukan sebagai esensi ngaji tidak selalu salah jika kita bisa bersikap proporsional. Meminjam ungkapan Kyai Sahal yang mana ilmu yang bermanfaat diperoleh dengan ta'dzim (penghormatan), maka mengaji dengan seorang kyai (selain mencari ilmu pada kyai tersebut)  secara "otomatis" telah sekaligus mengamalkan adab ta'dzim pada kyai tersebut. Karena ekspresi hormat itu beragam!

Menghormati bendera dengan meletakkan telapak tangan di kepala, menghormati penyanyi dengan menyawer (ehe), menghormati tamu dengan memberi jamuan, menghormati teman dengan menyodorkan rokok jika pas ketemu, kalau sedang berjauhan ya hormat kita pada teman dengan menyukai tweet-annya (kalau punya twitter), syukur-syukur retweet, dan menghormati kyai ya itu tadi salah satunya, menimba ilmu pada beliau-beliau.

Olehnya, siapa tahu dengan hormat kita pada kyai melalui ngaji akan jadi sebab kita memperoleh ilmu yang "benar-benar ilmu" (ilmu yang barokah). Serta patut dicatat bahwa sebenar-benarnya ilmu ialah mengamalkannya, bukan sekedar faham belaka. Iya, ngaji sebagai tabarukan juga tidak sepenuhnya salah. Namun, yang sangat perlu diingat dan menjadi perhatian ialah kita tidak pernah bisa mengamalkan ilmu (buah dari tabarukan), jika kita tidak mencoba faham (tafahuman) akan ilmu tersebut.  Tabik.

Wa Allahu a'lam...

1 Response to "Tabarukan - Tafahuman"

  1. I LIKE SUCH STORIES, SOUNDS SO NATURAL FOR A VERY BASIC CONSEPT IN ISLAMIC LEARNING. THE WAY IT IS CONVEYED SEEMS SO HONEST, AND FUN. THANKS BROTHER. JAZAKUMULLOH

    ReplyDelete