Pemuda dan Kebingungang Jati Diri: Sebuah Ulasan Bahasa Sebagai Salah Satu Poin Sumpah Pemuda


Sampai hari ini penulis merasa khawatir melihat sekelompok pemuda yang dengan masif menuturkan kata ‘djancuk’ disela-sela obrolan mereka. Tanpa basa-basi mereka juga menyapa teman sebayanya dengan sebutan ‘cuk’. Tidak sampai disitu, seorang murid diusia sekolah dasar yang penulis ajar juga kedapatan mengucapkan kata tersebut saat berbicara dengan teman sebangkunya. Kejadian tersebut berlangsung dihadapan guru yang sedang mengajarnya sehingga bisa dipastikan kata ‘djancuk’ bagi pemuda atau bahkan anak-anak saat ini sudah menjadi bagian dari mereka. 

Tentunya penulis tidak ingin larut dalam perdebatan apakah ‘djancuk’ itu kata yang tabu ataukah bukan. Akan tetapi kekhawatiran bahwa mereka menggunakan/menciptakan bahasa mereka dengan hanya meniru tanpa ada alasan yang bisa dipertanggungjawabkan membuat penulis sedikit gelisah. Penggunaan kata djancuk oleh kalangan anak-anak atau bahkan pemuda bisa dipastikan semata sebagai kegiatan meniru belaka. Diusia sekian tahun mereka bisa dipastikan belum mampu berfikir kompleks apalagi menyusun sebuah alasan yang sistematis dan bisa dipertanggungjawabkan. Kegiatan meniru itu rupanya kini kian marak dan mudah dikalangan pemuda kita saat ini. Bermodalkan kecanggihan teknologi, dan cepatnya informasi, proses tiru meniru tersebut menjadi kian mudah mereka lakukan. Bukan hanya aspek bahasa, namun menjalar pada banyak aspek para pemuda.

Tidak ada yang bisa menyalahkan keputusan seseorang untuk berbuat sesuatu, seperti halnya kasus yang telah penulis paparkan diatas. Akan tetapi meniru tanpa ada alasan yang jelas atau meniru hanya untuk memenuhi keinginan prakmatis menjadikan hal tersebut sebagai sebuah ancaman bagi seseorang -dalam hal ini pemuda-. Dalam kasus penggunaan kata ‘djancuk’ tadi misalnya, Cak Nun -dalam sebuah video yang penulis lihat di youtube- mengingatkan agar tidak begitu saja mengucapkan ‘djancuk’ bila kita tidak mengerti medan ma’na djancuk itu bagaimana, atau kita tidak mengerti budaya dan kearifan masyarakat Jawa Timur. Akhirnya, lagi-lagi proses peniruan itu tidak dibenarkan tanpa adanya alasan atau pengetahuan yang mendukung.

Bila kita mau jujur, masih banyak kasus kerusakan berbahasa yang ada di lingkungan pemuda kita. Kerusakan tersebut ada mulai dari tataran Fonem, Morfem, Sintaksis, dan Semantik. Siapa yang tidak tahu bahasa Alay?; Bahasa Indonesia dengan logat Inggris? (Becek, Ngodjeck, dll) Atau kosakata Keppo, Syantik, Woles, dan lain sebagainya. hal semacam itu bersumber dari bahasa asing atau bahkan bahasa Indonesia sendiri lalu dimodifikasi tanpa ada aturan yang bisa dipertanggungjawabkan. Mungkin sebagian kita berpendapat itu justru tindak kreatif para pemuda, namun bila kita cermati secara mendalam, hal tersebut adalah salah satu sumber perusakan bahasa seorang pemuda dan akhirnya rusak juga bahasa masyarakat kita karena para pemuda itulah yang nantinya akan menjadi nativ speaker bahasa Indonesia. Jika kita tidak sadar sedini mungkin akan efek yang timbul atau tidak melakukan atack protektif, maka kerusakan bahasa Indonesia -yang disebut dalam sumpah pemuda sebagai ‘berbahasa satu bahasa Indonesia’- tidak akan terhindarkan. Jangan salahkan pula jika suatu saat nanti pemuda kita akan asing dengan bahasa resmi mereka sendiri, dan dengan demikian mereka asing dengan identitas mereka karena bahasa adalah salah satu entitas identitas. Dalam hal ini, jati diri pemuda kita menjadi taruhannya.

Sampai sini penulis sedikit mencium sumber ketidak beresan bahasa Indonesia hari ini. Jika dikatakan bahwa kosakata bahasa Indonesia asli tidak lebih dari 50% sehingga selebihnya adalah bahasa serapan, maka tidaklah menjadi sebuah persoalan karena sifat bahasa sendiri yang memang dinamis. Artinya kosakata sebuah bahasa sah-sah saja bertambah dari mulanya mengikuti perkembangan masyarakat bahasa itu tumbuh selama masyarakat tersebut menyepakatinya. Dalam kitab Jami’ ad Durus dikatakan bahwa bahasa adalah alat yang digunakan untuk menyampaikan keinginan sebuah masyarakat (bahasa). Hal tersebut berarti jika sebuah kata baru (serapan) bisa difahami penggunaannya, maka secara otomatis masyarakat telah sepakat bahawa kata tersebut menjadi bahasa mereka.

Hal yang harus diperhatikan dalam menyerap bahasa Asing menjadi bahasa kita adalah proses bernalar yang benar. Jika sedari kini pemuda kita didiamkan untuk terbiasa seenaknya merubah sebuah bahasa sesuai keinginan mereka, maka dikhawatirkan kelak nalar bahasa kita menjadi tidak karuan arahnya. Bisa jadi kesalahkaprahan (meminjam bahasanya Gus Mus) kata serapan yang hari ini resmi menjadi bahasa Indonesia adalah efek kurang sehatnya nalar berbahasa pemuda Indonesia jaman dahulu. Seperti kata kafir, ta’jil, dakwah, tausiyah, dll. Kalau kita runtut asal mula kata-kata tersebut atau kata-kata lain yang masuk dalam kategori kesalahkaprahan itu, maka memang ada yang salah dalam laku berbahasa kita. Efek yang paling mengenaskan adalah jika kata-kata yang diserap secara tidak sistematis tersebut masuk dalam ranah hukum. Seperti kasus penistaan agama yang terjadi pada gubernur DKI Jakarta tempo hari. Banyak diksi dan bahasa yang terbolak-balik hingga masyarakat kita terjerumus pada gelombang provokasi dengan mudah sampai bangsa ini hampir saja mengalami perpecahan.

Tentunya penggarapan nalar bahasa sebagai alat mempertahankan jati diri sebuah bangsa bukanlah pekerjaan sepele dan cukup dikerjakan oleh segelintir orang. Namun setidaknya sebagian dari kita mampu berdiri tegap melawan kegagapan jati diri tersebut. Hari ini mungkin sebagian kita menyerahkan semua pekerjaan itu kepada Badan Pengembangan dan Pembinaan bahasa dengan produknya Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Badan ini dianggap benteng terakhir yang memperkasai keselamatan bahasa Indonesia. Akan tetapi melihat sifat bahasa yang cenderung bergantung kepada penuturnya, maka mengandalkan badan yang berada dibawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini serasa tindakan yang naif. Adalah masyarakat yang menjadi uung tombak penyelatan jati diri yang berupa bahasa itu. 

Pencarian jati diri adalah sebuah proses yang tidak ada hentinya. Kendati demikian, proses tersebut mengalami intentitas yang padat pada persekian usia hidup manusia. Adalah masa remaja yang disebut-sebut masa puncak intensif dalam pembentukan seorang manusia. Masa remaja disebut sebagai masa yang menentukan bagaimana manusia tersebut hidup kelak. Karena masa setelahnya manusia cenderung stabil dan stagnan dalam berproses. Sebuah maqolah menuturkan, syubanul yaum rijalul ghod, bagaimana kondisi remaja saat ini ialah gambaran masyarakat kita kelak.

Menjadi perihatin saat melihat perilaku kebanyakan pemuda kita saat ini. Mereka terkesan tidak memiliki sikap yang teguh dalam merespon kondisi yang datang silih berganti termasuk bahasa. Bukan hanya bahasa Indonesia yang menjadi lingua franca negeri ini yang terancam keadaannya, akan tetapi bahasa daerah yang kian lama kian sedikit digunakan. Di daerah Jawa misalnya, penulis mengamati banyak pemuda kita yang sudah tidak mengerti keberadaan bahasa khasnya. Jangankan kromo Inggil, sekedar berbicara dengan kromo alus saja mereka sudah kesulitan, padahal bahasa-bahasa daerah tersebut memiliki kearifan budaya yang tinggi hingga ada sebuah ungkapan “ajining diri soko lati” (harga diri seseorang terlihat dari ucapannya). Dan begitulah urgensi bahasa yang patut untuk terus diperjuangkan, karena bangsa tidak sekedar batas wilayah, bangsa juga tentang kekompleksan unsur pembentuknya. Menjadi penting berkomitmen menjaga kearifan bahasa yang kita punya untuk keutuhan bangsa lahir dan batin.

Wa Allah A'lam....

1 Response to "Pemuda dan Kebingungang Jati Diri: Sebuah Ulasan Bahasa Sebagai Salah Satu Poin Sumpah Pemuda"