Boyong?


"Mondok sak kawine, ngaji sak matine" (Mondoklah sampai nikah, dan menuntut ilmulah dirimu hingga ajal menjemput)


Di tengah masa jomblo yang pedih ini, penulis jutru diajak oleh seorang kawan untuk sowan ke salah seorang kyai sepuh di daerah Rembang Jawa Tengah. Keperluan utama sowan kami saat itu selain bersilaturahmi ialah meminta do'a restu bagi teman saya yang hendak melangsungkan pernikahannya.

Singkat cerita sampailah kami di kediaman kyai yang kami tuju. Setelah hidangan beserta kopi lengkap disajikan di hadapan kita, mulailah teman saya mengutarakan maksud dan tujuannya. Kyai yang sepuh dan terlihat sangat hati-hati (wira'i) dalam berucap itu juga sesekali menanggapi pernyataan teman saya.

Saya yang tidak punya posisi dan juga nyali ini hanya bisa diam dan mendengarkan dengan seksama. Banyak sekali wejangan dan kata-kata mutiara di tengah perbincangan mereka berdua, dan salah satunya apa yang penulis tulis di muka: jangan boyong sebelum nikah, jangan berhenti mengaji sebelum mati.

Senada dengan wejangan tersebut, teman saya ini juga belum boyong dari pondok pesantrennya yang ia tempati dulu dari masa sekolah hingga kuliah. Sehabis wisuda ia pulang lalu mendaftarkan diri di sebuah lembaga pendidikan dan hingga kini hendak menikah dia belum juga boyongan dari mondoknya itu. Menurut pengakuannya, saat pulang dulu ya cuma pamit pulang sama pengasuh pondoknya sembari membawa barang-barang miliknya ke rumahnya. Rencananya ia akan sowan untuk izin boyongan ke pengasuh pondok tersebut nanti sekalian meminta restu atas pernikahannya.

Hal yang lebih ekstream lagi dilakukan oleh seorang kyai ngalim di Pati Jawa Tengah. Dalam sebuah cerita, beliau menuturkan bahwa dulu saat mondok di sebuah pesantren yang cukup besar, beliau termasuk abdi ndalem yang sering diutus menangani kebutuhan ndalem. Sampai suatu ketika beliau ingin pergi untuk pindah mencari ilmu di pesantren lain. Saat itu pula beliau bingung, ketika ingin pamit boyong dari pondok pesantren tersebut, maka menjadi hal pasti guru beliau tersebut tidak akan merestuinya. Akhirnya jalan yang beliau tempuh adalah pergi secara diam-diam dengan membawa semua barang-barangnya. Dalam pikiran beliau terlintas untuk pamit boyong besok-besok saja. 

Sampai saat ini ketika beliau tidak lagi nyantri di pondok pesantren mana pun, dan juga sampai beliau menjadi salah seorang ulama, beliau mengaku belum pernah izin boyong dengan gurunya yang tadi. Beliau beralasan dengan tidak pamit boyongan ini, maka harapannya beliau bisa menjadi santri dari gurunya tersebut selamanya.

Istilah boyong dalam dunia pesantren memanglah riskan. Pesantren sendiri dikenal sebagai lembaga non formal yang mengajarkan ilmu agama tanpa target yang baku. Namun tidak pula berarti pembelajaran di pesantren selalu identik dengan sistem yang buruk. Alasan pembelajaran yang mengalir tanpa target yang baku ini supaya para santri bisa menyerap ilmu dengan semaksimal mungkin, tidak seperti lembaga pendidikan lain yang belajar dengan kejar-mengejar target dan waktu yang telah di tentukan. Implikasi dari pembelajaran tanpa target ini, maka tidak semua santri bisa dipukul rata semisal tahun sekian harus sudah lulus/boyong.

Lulus/boyong dari sekolah akan mudah sekali mengidentifikasikannya. Yaitu jika telah mengikuti ujian nasional misalnya, atau telah mendapatkan secarik kertas yang dinamakan ijazah, atau indikasi-indikasi yang lain. Hal ini akan berbeda dengan pesantren. Kita akan kebingungan saat disuruh menjustifikasi santri mana yang telah pantas untuk boyong. Atau bisa saja kita mengindikasikan kalau seorang santri telah khatam kitab ini dan ini maka ia bisa saja untuk boyong. Namun lagi-lagi hal tersebut tidak bisa dibenarkan 100%. Dunia pesantren mengenalkan santrinya bahwa ilmu saja tidak cukup, harus bisa mengamalkannya. Banyak ilmu tapi sedikit amal ya sama saja belum punya ilmu, itu artinya sama halnya belum bisa dikatakan lulus mondoknya.

Selain hal tersebut, sudah pantas boyong atau belum juga dipersulit dengan perasaan santri yang belum menguasai beberapa ilmu yang lain. Semakin lama ia mondok, semakin lama ia mengkaji sebuah ilmu, maka semakin dalam ia merasa bodoh dan ingin belajar ilmu yang lain. Selain dari pada itu, di pesantren, ikatan kyai dengan santri tidaklah cukup semasa santri tersebut masih jadi santri saja, ikatan santri dan kyai berlangsung selamanya hingga ajal menjemput salah satu dari keduanya, han ini berbeda 180 derajat dengan pola murid dan guru di sekolah. Jadi lagi-lagi pertanyaan yang muncul: indikator apa untuk menyatakan bahwa santri ini pantas untuk boyong?

Mondok itu ngaji, ngaji itu mencari ilmu, dan mencari ilmu itu ya selamanya. Selamanya tidak ada istilah boyong, yang ada ke-terboyong-an santri oleh beberapa sebab seperti nikah, himpitan ekonomi, amanat, pindah pondok, dan lain sebagainya. Kalaupun ini benar, maka boyong hanya ada pada tataran 50% kepergian santri dari pondoknya, kepergian baju, kitab, buku-buku seorang santri dari pesantrennya. 50% yang lain berupa sukma, ruh, idealisme, jejaring keilmuan masih kokoh mengakar di pesantren.

Wa Allahu A'lam...

0 Response to "Boyong?"

Post a Comment