Agama adalah jalan suci dari Tuhan yang disampaikan oleh RasulNya agar manusia dapat mencapai kebahagian di dunia dan akhirat. Agama berisi "aturan main" bagaimana selayaknya manusia hidup di dunia sebagai hamba Tuhan sekaligus sebagai khalifah di bumi yang terhampar luas ini.
Seminim-minimnya, aturan main tersebut diwujudkan dengan dua item: Al-Qur'an dan Hadist. Dua sumber keagamaan tersebut dipercaya bisa menjawab semua persoalan sejak pertama kali Nabi menyampaikan pada umatnya hingga sekarang dan bahkan di hari yang akan datang.
Seiring dengan berjalannya waktu, praktik keagamaan tidak melulu sama dengan apa yang termaktub di dalam Al-Qur'an dan Hadist. Banyak faktor yang menyebabkan fenomena itu terjadi. Olehnya dibutuhkan penafsiran bagi kaum beragama dalam mempraktikan ajarannya sesuai tempat dan waktu di mana mereka hidup (kontekstualitas). Berhubung semua kaum beragama sama-sama memiliki akal, maka semuanya sangat mungkin dan berpotensi untuk menafsirkan teks-teks keagamaan.
Akan tetapi, agama bukanlah hal remeh, ia selalu terkesan suci, sehingga ada kualifikasi khusus siapa yang berhak untuk memafsirkan teks agama atau berijtihad (berargumen) atas persoalan yang berkaitan dejgan agama. Sedangkan bagi orang yang belum cukup memiliki standar minimal untuk melakukan hal tersebut, maka di sarankan untuk berittiba' (ikut) pada pendapat orang-orang yang mengerti dalam tentang agama. Oleh sebabnya, bila kita melihat praktik belajar mengajar agama di pondok pesantren, maka tidak langsung diajarkan isi Al-Qur'an dan maksud Hadist Nabi terlebih dahulu. Kita diajarkan karya-karya ulama besar dulu dan menjadikannya patokan dalam beragama.
Dari pola mengikuti orang-orang besar itu, terkadang kita tidak tahu menahu bagaimana sebuah praktik keagamaan baru bisa muncul (meski esensinya sama dengan yang lama). Kita akan dibuat bertanya-tanya, sejak kapan hal tersebut muncul? Siapa penggagasnya? Dari mana pertama kali muncul? Sedang di tempat atau negara lain belum tentu ada praktik semacam itu! Hal ini diperparah dengan miskinnya literatur yang menuliskan tentang hal itu. Jawaban spekulasinya pasti juga akan bermacam-macam.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut layak semestinya kita tujukan pada 'gelang-geleng' kepala di saat kita berdzikir lā ilāha illa Allāh. Ada beberapa orang yang melakukan geleng-geleng tersebut atau bahkan hingga menggerakkan seluruh anggota badannya. Meskipun banyak pula yang tidak seperti itu.
Hingga saat ini, penulis belum juga menemukan dalam Al-Qur'an dan Hadist terkait praktik keagamaan yang ini. Akan tetapi hal itu tidak menjadikan penulis lantas menyalahkannya. Alasan pertama karena praktik tersebut tidak hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu, akan tetapi sering penulis lihat para kyai, ustadz, atau bahkan mursyid yang melakukan hal tersebut.
Alasan kedua, apabila praktik tadi adalah salah atau menyebabkan mudlorot (kerugian), maka tidak mungkin banyak sekali orang berdzikir dengan menggelengkan kepalanya, sesuatu yang buruk akan hilang dengan sendirinya, ia tidak mungkin lestari, apalagi hal ini terbudayakan dalam lingkup berdzikir yang suci. Dan setidaknya dari kedua alasan ini, penulis tidak berani untuk menyalahkan.
Kami hanya bisa tetap berkhusnudzon bahwa ini praktik yang tidak salah sembari mencari tahu informasi terkait hal ini. Dari sikap ini penulis berharap bisa mengantisipasi justifikasi prematur yang akhir-akhir ini menjadi biang kerok kegaduhan di dalam masyarakat serta penyebab perpecahan umat.
Di tengah pencarian itu, Alhamdulillah akhirnya penulis menemukan semacam setitik pencerahan. Silahkan anda buka kitab-kitan fiqh. Saat menuliskan bab shalat, para mushonif (pengarang kitab) memggambarkan bahwa sholat adalah ibadah utama. Setiap gerakan sholat ada ma'nanya atau filosofinya, dan apalagi dengan setiap bacaan-bacaan sholat.
Hal semacam itu juga berlaku dalam takhiyat akhir. Saat kita membaca asyhadu alla ilāha illa Allāh, tepat pada kalimat illa Allāh kita disunahkan untuk menelunjukkan jari penunjuk. Alasan para mushonif ialah supaya lengkap ibadah kita. Artinya bukan hanya mulut kita saja yang beribadah (sholat?) akan tetapi anggota badan kita juga beribadah dengan menelunjukkan jari telunjuk disertai pandangan mata yang kita arahkan fokus pada telunjuk yang mengacung. Selain itu hati dan fikiran kita juga bisa khusyu' (fokus/konsen) dengan meresapi apa yang mulut kita ucapkan dan mengerti bahwa Tuhan Maha Esa sebagaimana satu jari yang mengacung.
Setidaknya begitu pula lah dengan dzikir lā ilaha illa Allāh dengan menggeleng-gelengkan kepala. Seolah orang tua kita dulu mengajarkan bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah (la ilaha illa Allah). Karena sudah ma'lum (diketahui) di masyarakat umum bahwa menggelengkan kepala adalah isyarat mengatakan "tidak". Dengan demikian harapannya kita bisa berdzikir dengan wushul, dan berdzikir dengan kaffah.
Namun, tetap saja, kalau anda bertanya siapa penemu gerakan geleng-geleng itu? Maka jawabnya ya...
Wa Allāhu A'lam...
0 Response to "Siapa Penemu Gerakan Geleng-Geleng Saat Tahlil?"
Post a Comment