Dhalan Pitedhah, Gulung Tikar?

pixabay.com

Suatu saat saya silaturahim ke salah satu dosen yang dianggap oleh beberapa mahasiswa di kampus kami sebagai dosen yang idealis, perfeksionis, dan profesional. Kala itu kami mengobrolkan beberapa persoalan, hingga sampailah kita pada pembahasan terkait dunia literasi kampus, skripsi, dan beberapa dosen yang sampai saat ini menghuni semesta kampus.

Merujuk pemaparan beliau, kampus itu ya tentang baca tulis, sebagaimana hal yang sering berhubungan dengan pondok pesantren. Ukuran berkualitas tidaknya bukan dilihat dari seberapa besar gedungnya, atau seberapa banyak santrinya, akan tetapi seberapa padatnya kegiatan mengajinya. Begitu pula dengan para dosen dan mahasiswa, eksistensinya dilihat dari beberapa tulisannya, atau lebih spesifik lagi, pernah nyasar ke jurnal mana tulisannya, karena tulisan yang baik bukan tulisan yang dianggap baik oleh penulis itu sendiri, melainkan tulisan yang dianggap baik oleh pihak lain, simpelnya ya itu tadi, telah diakui di 'media publikasi' mana tulisan si penulis tadi, semakin berkelas jurnal yang mengangkat tulisannya, maka semakin berkelas pula tulisannya.

Tetapi saat ini, menurut penulis telah banyak jurnal-jurnal ilmiah yang konten tulisannya sekedar memaksa hanya untuk mengisi kolom tulisan yang kosong. Lebih mengejar tuntutan jumlah tulisan dari pada "isi" tulisan itu sendiri, dengan kata lain lebih cenderung melihat sisi kuantitas dari pada kualitas tulisan.

Hal ini bukan sebaliknya, kalau kadar tulisan dilihat dari seberapa orang tersebut mempublikasikannya sendiri, maka presiden kita dulu SBY saja bisa dan enteng membuat buku saat ia menjabat sebagai presiden, lalu buku tersebut ia cetak sendiri, dan saking PDnya karena ia anggap baik karyanya itu, maka buku tersebut dibagikan dengan murah ke seantero negeri. Ini sebenarnya bapak itu niat jadi penulis apa presiden? Penulis kan mereka yang tidak punya gawean, kalau membandingkan padatnya jadwal pak Jokowi sebagai presiden, lantas kapan ya pak SBY bisa nulis? Atau emang kerjanya ngapain saja dulu saat jadi presiden?

Kembali pada intinya tulisan ini. Bagi komunitas akademik -bukannya ente sudah wisuda dul? Ya sudah, pokoknya selemah-lemahnya definisi akademik-. Tulisan sepertinya menjadi puncak dari proses kita mencari pengetahuan. Kalau kita urut-urutkan seperti ini kurang lebihnya: 1. Mendengarkan, 2. Melihat, 3. Berbicara, 4. Menulis.

Orang bisa saja mendengar namun belum tentu mampu melihat (dengan pandangan ilmiah maksudnya), atau orang bisa saja melihat namun belum tentu mampu berbicara, dan orang bisa saja mendengar, melihat, berbicara, namun belum pasti ia mampu menulis dengan baik. Atau bisa saja kita deskripsikan hubungannya dengan pola seperti ini: orang yang ingin melihat dengan pandangan terukur, maka ia terlebih dahulu harus melewati fase kemampuan mendengar, orang yang ingin berbicara maka ya harus melewati fase mendengar dan melihat, terakhir, orang yang ingin menulis maka harus melewati fase mendengar, melihat, maupun berbicara. Dan bisa saja kita katakan bahwa orang yang menulis maka bisa dipastikan gaya bicaranya akan runtut, kekritisan melihatnya tajam, serta daya serap telinganya tinggi.

Pokoknya seperti itu lah sengawur-ngawurnya argumen penulis, kalau anda masih ragu, mari kita telaah bagaimana ayat Al-Qur'an pertama kali turun. Saat itu Baginda Nabi Muhammad SAW sedang berdiam diri (bertapa!?) di gua Hira'. Allah SWT mengutus malaikat Jibril datang dan bersuara iqra' bismirabbika (mendengar), Nabi yang di dekap serta gugup lengkap dengan situasi yang ada di gua Hira' (melihat) lalu mengatakan bahwa beliau tidak bisa membaca, dan akhirnya beliaupun menceritakan kejadian tersebut lalu menhampaikan wahyu itu pada umatnya (berbicara), dan yang terakhir, wahyu tersebut hadir dihadapan kita dalam bentuk mushaf (tulisan).

Pertanyaan selanjutnya ialah: bagaimana dengan Dhalan Pitedhah? Laman publikasi tulisan ini kok lama tidak memunculkan progresnya lagi? Meskipun memang belum pernah berprogres seprogresif mungkin sama sekali. Hehehe

Banyak bermunculan cerita-cerita spekulatif macam-macam pula lah. Mungkin saja penulisnya sedang tidak punya bahan yang ia dengar, lihat, dibicarakan dengan yang lain lalu ditulis. Lha memang kegiatannya tura-turu di kamar tog e, apa lagi ini musim penghujan, ya sudah, makin subur sense of turaturunya. Atau bisa saja para penulisnya sudah beralih status dari akademisi/thālib alIlmi ke status yang lain, sehingga proses yang para penulis jalani ya tidak lagi serangkaian 4 hal tadi, namun yang lainnya. Al hasil ya vacum kan laman ini. Lha memang kalau iya benar beralih status, sekarang apa statusnya? Cah kerjo? Cah angon? Cah bisnis? Cah cintah? Cah jomblo gagal move on? Hahaaa. Plak!

Apapun statusnya, saya rasa relevan-relevan saja proses mendengar, melihat, berbicara, dan menuliskan semuanya. Karena hidup tentang pembelajaran tanpa henti, pencarian titik kemapanan mental tanpa puncak, selain kematian itu sendiri puncaknya.

Wa Allāhu A'lam...

0 Response to "Dhalan Pitedhah, Gulung Tikar?"

Post a Comment