Mari mengeja agama.
Mengeja, tak sekedar membaca bibir bersuara.
A, ba, ta, tsa berderet penuh makna.
Namun apalah daya hamba jelata.
Mengeja hanya dalam dahaga.
Inikah agama penentram jiwa?
Raga. . .
Ternyata rasio menghambar tak mampu untuk sekedar membaca.
Jangankan mengeja.
Namun kemana jiwa harus melepas dahaga?
Agama seperti halnya cinta Rama pada Sinta.
Iya, lagi-lagi raga tak kuasa memenuhi dahaga jiwa.
Namun lihatlah mereka yang tentram.
Hidup penuh termaram terbata selalu menganyam.
Bukan soal siapa.
Bukan juga lamanya masa agama berjibaku berapa.
Ini tentang gontai mengubur asa bertakabur.
Menghambur kebesaran kabur.
Otak dubur hasrat menyembur.
Mari bersama dalam mengkubur.
Tak mungkin sama namun mari bertafakur.
Lihatlah! Agama bukanlah barang dagangan.
Tak juga semua orang mampu berdendang.
Berkendang, nada merasuk jiwa membusuk.
Oh, jiwa yang yang gersang.
Raga yang malang.
Sejenak bertanya untuk berjalan.
Bukan ngawur tersesat tak karuan.
Untuk untung yang buntung.
Tersesat tak melulu bingung.
Namun pilu yang terus menggantung.
Kadjen, 4 Agustus '17
0 Response to "Agama"
Post a Comment