Sebelumnya penulis telah memaparkan skema kebenaran yang setidaknya ada tiga tingkatan: Kebenaran, kebaikan, dan keindahan.
Tema kali ini berawal dari perdebatan apakah kita harus mencantumkan lafadz sayyidina atau bahkan mengharamkan lafadz tersebut tatkala kita membaca sholawat kepada baginda Nabi Muhammad SAW. Perdebatan itu bermula dari hadist nabi yang memerintahkan umatnya untuk membaca sholawat pada beliau. Redaksi yang beliau pakai ialah sholallahu 'ala Muhammad. Dalam redaksi itu beliau memerintahkan tidak usah memakai kata sayyidina. Hal ini yang menjadikan salah satu pihak mengharamkan lafadz sayyidina saat bersholawat. Kebenaran itu tentunya berdasar dan tidak asal-asalan.
Penulis sendiri lebih condong untuk menyertakan lafadz sayyidina saat membaca sholawat. Bukan karena penulis tahu pasti alasannya, namun hal ini telah termaktub dalam kitab-kitab karya salaf al-sholih dahulu. Kalaupun penulis dipaksa untuk beralasan, penulis hanya ingin mengingatkan bahwa nabi itu manusia yang sangat tawadlu'.
Peniadaan lafadz sayyidina itu mungkin dikarenakan nabi tak mau menganggap dirinya orang besar. Atau seperti inilah ilustrasi mudahnya, suatu hari anda diperintah oleh kyai anda (yang bernama Kustiono) untuk mengambilkan barang belanjanya di toko sebelah pondok anda. Kyai anda ngutus "nanti kalau ditanya ambil barang yang mana? Jawab saja barangnya Kustiono, ini saya santrinya Kustiono". Kemudian anda sampailah di tokoh sebelah dan ditanya pemilik toko "ambil barang yang mana?" Apakah anda tega menyebut "barangnya Kustiono?" "Saya ini muridnya Kustiono" anda tega? Hati nurani anda paling tidak menyematkan kata Kyai sebelum nama Kustiono. Karena itu yang benar dan indah serta sopan.
Ini baru kyai anda, lalu bagaimana jika itu nabi anda? Nabi yang jadi sebaik-baiknya manusia. Apa anda tega memanggilnya tanpa ada penghormatan? Atau suatu ketika anda diutus bapak anda untuk menemani beliau istirahat karena kecapekan habis bepergian jauh. Bapak yang biasanya memerintah anda mijeti, saat itu begitu capek dan terasa pegal hingga beliau memerintah anda memijat dengan cara menginjak-injak punggung beliau dengan cara bapak tidur mengkurep dan anda di atasnya untuk menginjak-injak. Apakah anda sadis melakukan perintah bapak ini? Tentunya tidak bukan?
Begitulah, ada keindahan di atas kebenaran. Saat ada pilihan antara benar dan indah maka tentunya kita patut memilih yang indah. Jika anda tak mampu memahami keindahan, ya sak karepmu!.
Wa Allah a'lam...
0 Response to "Perintah Dan Etika"
Post a Comment