Innama al-a'mal bi al-khowatim
Kalimat ini jika diterjemahkan secara sederhana ialah "seluruh perbuatan itu (yang dinilai) akhir dari perbuatan itu". Hal inilah yang menjadikan salah satu doa yang selalu dipanjatkan oleh kaum muslimin. Jika ada orang sedari lahir kafir atau Islam namun tidak beribadah setiap harinya, akan tetapi di akhir hayatnya ia bertaubat dan mati dalam keadaan ta'at maka keburukan yang telah lalu itu sudah terhapuskan. Dari sini mantan preman dinilai lebih baik dari pada mantan kyai.
Sebagian dari kita setelah melihat konsep demikian berfikiran bahwa hari ini tidak masalah kita berbuat maksiat. Menghabiskan semua yang kita inginkan tak memandang apakah itu melanggar syariat ataupun tidak. Nanti saat sudah tua kelak atau sudah diujung hayat, kita bertaubat supaya keburukan itu dapat tertutupi. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan ialah "memang kita tahu kapan nyawa kita akan dicabut?" Bukankah maut adalah hal yang paling dekat dengan kita. Tidak memandang tua ataupun muda, semua sama memiliki potensi untuk wafat. Sehingga sangat dikhawatirkan kita wafat dalam keadaan kita belum sampai bertaubat dan taat.
Pandangan bahwa hidup itu dilihat akhirnya, membuat banyak ulama lebih adem saat berdakwah. Mereka tidak senantiasa geram saat melihat kedzaliman yang dilakukan oleh seseorang karena siapa tahu saja yang saat ini kita pandang buruk suatu saat bertaubat, adapun kita yang saat ini selalu beranggapan kita orang baik tak mesti berakhir baik. Maha Suci Allah yang membolak-balikkan hati manusia. Allahummakhtimna bi husn al-khotimah.
Mengomentari hal tersebut, Gus Sabut putra kyai nyentrik Gus Miek (Kyai Chamim Jazuli) Kediri pernah menyampaikan dalam sebuah ceramahnya bahwa biasanya, akhir hidup manusia bisa dideteksi melalui kebiasaannya sehari-hari. Dengan nada guyon berbalut nyindir mengingatkan beliau dawuh "saat ini banyak orang yang selalu sibuk dengan HPnya mulai bangun tidur hingga tidur lagi" beliau khawatir jika khotimah kita ialah main HP, tidak seperti para kyai pada umumnya yang terbiasa beribadah dan akhir hidupnyapun di warnai dengan ibadah. Inilah yang disebut dengan khusnul khotimah.
Konsep khusnul khotimah ini sebenarnya tidak harus tentang hidup, akan tetapi bisa kita spesifikan dalam kehidupan kita sehari-hari. Semisal anda yang saat ini berada dalam satu lembaga entah masih masa bekerja di lembaga tersebut atau mungkin mengambil manfaat di lembaga itu semisal pelajar di sekolahan, santri di pondoknya, mahasiswa dengan kampusnya. Keterkaitan kita dalam lembaga ini pastinya bukan untuk selamanya, ada masa dimana kita mengahiri waktu kita dalam hidup pada lembaga tersebut.
Berbeda dengan hidup yang tidak tahu menahu kapan kita akan meninggal, persoalan dengan lembaga dapat kita ketahui secara pasti kapan kita akan meninggalkan lembaga tersebut. Mahasiswa hanya 4 tahun berakhir sibuk di kampus, pelajar setidaknya sampai lulus, dan seterusnya. Dengan periodik yang sudah kita ketahui ini, maka ada peluang besar bagi kita untuk menuai khusnul khotimah dalam lembaga. Mahasiswa yang sudah semester 8 misalnya, sepatutnya ia berlaku bagus supaya kenakalannya selama dari semester 1 sampai akhir dapat tertutupi. Dengan ini, maka penduduk kampus setidaknya akan mengganggap dan bercerita bahwa kita orang yang baik tatkala kita sudah lulus.
Senada dengan hal ini, menjadi sepatutnya pula kita berbuat baik kepada siapapun yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang saat ini kita temui entah ia kita kenal maupun tidak adalah mereka yang dikirim tuhan untuk menemui kita saat itu juga, sehingga dengan berbuat baik pada siapapun kita akan dianggap baik oleh siapapun. Bukankah orang-orang yang didunia ini adalah saksi Allah atas kita di dunia. "Antum syuhada' fil ard" . Bahkan konon dulu ada seorang kyai meninggal dunia dengan wasiat supaya murid-muridnya bersaksi baik atasnya, bukan wasiat lainnya seperti selalu mendoakannya, mengirim surat Al-Fatihah di akhir sholat para murid, atau yang lainnya. Alhasil dengan wasiat ini, bukan kalimat tahlil yang mengiringi pemakaman beliau saat mulai jasad beliau dibawa dari ndalem sampai maqbaroh (makam), akan tetapi suara "pak kyai tiyang sae pak kyai tyang sae pak kyai tiyang sae" yang mendayu-dayu mengiringi jasad beliau.
Pertanyaan yang muncul sekarang ialah baik itu seperti apa? Bukankah baik itu sangat subjektif? Lalu bagaimana orang menilai kita baik?
Para ulama kondang dulu yang sampai saat kita anggap baik, sebenarnya dulu juga banyak yang tidak suka, banyak kena fitnah sampai akhir hayatnya. Kesemuanya itu karena hakikat dasar manusia dan juga karena kita hidup berdampingan dengan orang lain yang memiliki pemikiran berbeda-beda. Yang menjadikan beliau-beliau saat ini dikenang baik karena Allah telah menghapuskan fitnah tersebut, atau memang kebaikan beliau lebih banyak ketimbang fitnah yang berkembang.
Sehemat penulis, salah satu penyelamat beliau-beliau 'Allah yarhamhum' ialah karya beliau yang kekal dan selalu dikaji sampai saat ini. Imam Syafi'i dengan kitab Al 'Umm, cetusan usul fikihnya, serta karya-karya yang lain. Budaya menulis inilah yang sekiranya juga patut untuk kita tiru agar kita menjadi dan dikenang sebagai orang baik. Jika jargon filsafat mengatakan 'aku berfikir maka aku ada' maka mari kita menyemarakan jargon 'kita menulis maka kita kekal'.
Wa Allah a'lam...
0 Response to "Akankah Kita Mencapai Khusnul Khotimah?"
Post a Comment