Ketupat Silaturahim #2

https://dhalanpitedhah.blogspot.co.id/

"Ah ya nggak gitu juga. Perjuangan itu butuh sombong juga" kata pak kyai sembari menghisap rokok berlogokan "LA" Putihnya itu. Bullll..., beliau menegaskan "Dulu saya itu tak punya apa-apa kecuali tanah yang saya pakai rumah ini saja, tapi saya sudah berani mlekiti (sombong) bikin 'Master Plant' sampai sekolahan yang disana itu, yang dulu bukan dan entah tanahnya siapa saya tak tahu nak" Pandangan kami sentak memperhatikan hamparan bangunan tempat pengabdian beliau "terlalu berhati-hati, merasa terkadang tak tenang pada hal baik juga kurang tepat. Siapa tahu itu bisikan setan?" Saya yang duduk dibarisan paling tepi itu merasa betapa kyai ini sangat bijak.

Setidaknya begitulah salah satu keterangan kyai adik saya itu. Beliau kini berjuang di tanah Semarang. Di tengah-tengah masyarakat kota yang kian merasa menjalankan agama adalah sesuatu yang "tak begitu penting", di tengah-tengah kepluralan peradaban dan budaya kota, serta di tengah-tengah hedonisme kota besar. Beliau sendiri kebetulan satu bendera dengan kami. Bedanya, kami pegang bendera dengan asal ikut-ikutan (taqlid), namun beliau menjadi "pemandu" para manusia yang berada di tiang bendera itu.

Banyak pesan yang kami dapatkan sehingga jiwa terasa fresh meskipun kami telah berjalan jauh hampir 2 kali jarak qosor sholat. Salah satu yang paling kami ingat ialah resep beliau yang ditawarkan pada kami agar selamat dunia dan akhirat.

Sebelum resep itu beliau tawarkan pada kami, beliau terlebih dahulu menukil ayat "wal al-ladziina 'amanu wa hajaru wa jahadu . . . al-ayat" (kalau tidak lupa seperti itu hehehe). Singkatnya hanya ada 3 resep supaya kita sukses.

Pertama ialah kita harus beriman. Konsep iman ini memang gampang-gampang sudah, karena ini murni anugerah dari Tuhan. Pak kyai menceritakan perihal paman Nabi, orang dekat Nabi.Muhammad SAWsendiri, yang sampai wafatnya "belum" masuk Islam. Bahkan saat paman Nabi naza' (proses terjabutnya nyawa), Nabi Muhammad mendampingi proses itu sembari mengajarkan kalimat syahadat, namun yang terjadi hanyalah kesia-siaan belaka. Dari sini bisa kita pastikan bahwa iman itu hidayah dari Tuhan. Namun bagaimana dengan kita yang telah Islam? Tentunya keimanan itu bukanlah perihal syahadat belaka. Iman harus diucapkan, diimplementasikan dengan perbuatan, dan diyakinkan oleh hati kita. Semoga kita termasuk orang yang beriman, iman yang sejati, bukan hanya dalam ucapan belaka. Amin.

Pak kyai menuturkan. "Sudahlah, lupakan iman. Hal yang paling relevan itu adalah item kedua, yaitu wa hajaru". Iya, jika kita ingin sukses setidaknya kita mau untuk berhijrah atau mau berpindah. Silahkan tafsiri hijrah itu sefleksibel mungkin. Pak kyai menafsirinya dengan tak sekedar meniru Nabi berhijrah dari Makah ke Madinah. Beliau menuturkan bahwa kegiatan kami merantau, mengais pengetahuan ke tempat lain juga bisa kita sebut berhijrah. Intinya hijrah itu dinamis, bukan statis. Dinamis dalam semua hal. Bisa fikiran, tempat, kegiatan, dan lain sebagainya.

Resep ketiga ialah wa jahadu. Ternyata beriman, dan berusaha (hijrah) saja belum cukup. Kita harus berjuang dengan semua hal yang kita peroleh dari kedua proses sebelumnya. Perjuangan itu butuh modal tentunya. Namun bisa jadi karena kebanyakan modal kita malah bingung mau investasi kemana perjuangan itu. Pak kyai sendiri menuturkan agar tak usah pelik memikirkan itu semua. Dalam perjuangan hanya butuh take action and first step, ambil saja langkah awal, selebihnya pasti ada seribu langkah di hadapan kita.

Hal yang perlu kita garis bawahi ialah, proses ini bisa saja anda maknai secara prosedural. Artinya mari beriman dulu baru berhijrah dan akhirnya berjuang. Namun bisa saja tidaklah runtut sesuai urutan tadi, atau bisa saja kita harus melakukan ketiga-tiganya itu secara continue (bersamaan, terus-menerus).

Demikian resep keberhasilan itu. Kami yang sedari tadi belum bosan dan masih menunggu petuah lainnya harus segera hengkang. Pak sopir sudah menunggu lama rupanya.

Wa AllĂ hu a'lam...

Semarang, 5 Syawal '38 H.

0 Response to "Ketupat Silaturahim #2"

Post a Comment