Pancasila.
Satu, sebagi manusia yang berTuhan, saya merasa bersyukur tatkala dilahirkan dan akhirnya juga hidup di negara ini, negara yang subur akan Tuhan, subur umat yang begitu sadar bahwa Tuhan menciptakan manusia di bumi ini untuk tidak semuanya beriman pada Allah (Tuhan saya) saja atau pada Tuhan bapa, Tuhan ibu, dan Tuhan anak atau Tuhan-Tuhan yang lain.
Jikalau tidak, bukankah sangat mudah bagiNya dengan sifat qudrohNya untuk menciptakan semua manusia beragama satu, bukan keyakinan yang lain. Kami sadar manusia hidup di dunia murni untuk diuji oleh Tuhan dengan banyak cobaan. Semua cobaan itu tak lain untuk penentu mana manusia yang lolos serta mana pula yang belum lolos. Termasuk cobaan penciptaan Allah pada bermacam-macam keyakinan manusia pada Tuhan mereka. Semoga kesadaran itu bisa meluas pada yang lain sehingga tak ada manusia yang ngotot menjadikan agama mereka sebagai agama yang menguasai negri ini, merasa benar sendiri, lupa bahwa ada entitas hidayah yang itu murni hak prerogatif Gusti Allah dalam beragama.
Jikalau tidak, bukankah sangat mudah bagiNya dengan sifat qudrohNya untuk menciptakan semua manusia beragama satu, bukan keyakinan yang lain. Kami sadar manusia hidup di dunia murni untuk diuji oleh Tuhan dengan banyak cobaan. Semua cobaan itu tak lain untuk penentu mana manusia yang lolos serta mana pula yang belum lolos. Termasuk cobaan penciptaan Allah pada bermacam-macam keyakinan manusia pada Tuhan mereka. Semoga kesadaran itu bisa meluas pada yang lain sehingga tak ada manusia yang ngotot menjadikan agama mereka sebagai agama yang menguasai negri ini, merasa benar sendiri, lupa bahwa ada entitas hidayah yang itu murni hak prerogatif Gusti Allah dalam beragama.
Dua, negara ini diciptakan untuk melindungi manusia, dengan tata kelola atau aturan-aturan yang diciptakanya, komplit beserta aparatur pemerintahannya dari pusat hingga tingkat RT. Atau tujuan-tujuan lain yang serba manusia orientasinya, meskipun saya sendiri sadar beserta mungkin penduduk lainnya yang merasa belum sepenuhnya menjadi manusia. Masih ada sifat Tuhan yang ingin kami miliki, sifat malaikat yang harapannya dikuasai, bahkan tak jarang kami masih begitu suka meniru sikap kepunyaan iblis dengan takaburnya, serakahnya, dzolimnya, dan sikap-sikap angkuh lainnya. Hanya satu harapan bagi manusia yang entah sampai kadar mana kemanusiaan kami itu. Semoga semua tingkah laku kami di dunia ialah laku manusia, bukan yang lain. Manusia yang beradab layaknya manusia, manusia yang adil seadil adilnya manusia utuh.
Tiga, di negara yang luas ini. Aceh dengan serambi Makahnya, hingga Papua yang bermakanan pokok sagunya. Berjuta pulau, beribu budaya bahasa dan adatnya. Maka apa yang harus kami buat untuk menuju satu tujuan kebaikan atau beribu kebaikan kecuali dengan meletakkan atribut ke-aku-an kita masing-masing itu di ruang paling dalam rumah kita untuk lalu keluar duduk bersama membicarakan kemaslahatan dengan hanya satu atribut "kita satu, satu Indonesia".
Empat, melihat semua kita sama, sama-sama memiliki kepala dengan otak dan organ yang lainnya, namun isi otak setiap manusia niscaya berbeda. Tak ada raja dengan Sapdo Pendeto ratunya yang mutlak di negri yang permai ini. Semua berhak berbicara, semua sangat bisa bebas berorasi, mengkritik, menuntut, dan meminta. Hanya ada satu meja dengan aturan yang sedemikan untuk memuutuskan perkara. Cara yang sejak dulu dilakukan oleh manusia tak terkecuali para nabi untuk mencari kebijaksanaan dalam persoalan. Bermusyawarahlah untuk semua persoalanmu!
Lima, kesemuanya itu mengerucut pada satu harapan, mewujudkan keadilan bagi seluruh manusia Indonesia. Adil dalam segala hal. Mulai hukum hingga ekonomi guna semua manusia yang ada di negeri ini benar-benar merasakan kebahagiaan, bukan kebahagiaan yang hanya bisa dirasakan oleh kalangan tertentu belaka.
Pekan Pancasila: "Saya Indonesia, Saya Pancasila"
0 Response to "Insan Pancasila"
Post a Comment