Kebaikan Yang Tak Berdalil


http://lintasgayo.co/2015/09/06/pahala-dan-dosa-dimanakah-kini-berada

Al yauma akmaltu lakum dinakum. "Dihari ini (haji wada') kami telah sempurnakan agamamu"

Sebagai umat yang beragama, maka menjadi konsekuensi logis bagi kita untuk mengimplementasikan hukum agama secara keseluruhan di setiap laku kehidupan kita,"tanpa terkecuali". Tak ada keraguan dan apalagi meragukan bahwa semua urusan hidup kita harus sesuai panutan kitab suci Al-Qur’an dan Hadist Nabawiyah. Terlebih tujuan hidup kita didunia hanya satu orientasi, ibadah dengan Syumul. Agama sudah mengatur semua ibadah, Tuhan telah mendeklarasikan bahwa agamamu telah sempurna, dalam artian semua sudah ada aturannya.

Dalam perkembangannya, tatkala para ulama meneliti kedua sumber hukum itu, ada dua dikotomi ibadah dalam keseharian kita. Mahdloh atau ibadah yang langsung berhubungan dengan Tuhan, seperti Shalat, Puasa, dsb. Macam yang kedua ialah ibadah ghoru mahdloh atau perihal yang berhubungan antar manusia, dalam hal ini sering dibahasakan dengan mu’amalah seperti jual beli, gadai, pinjam meminjam, dsb.

Dalam sejarah beragama, tatkala Tuhan mengutus NabiNya untuk umatnya lengkap dengan wahyu yang Ia tunjukan pada Nabi yang kemudian untuk disampaikan pada umatnya demi mengatur kehidupan dimuka bumi, maka aturan tersebut ada semacam periode kapan aturan itu harus dilaksanakan. Tatkala aturan yang dibawa oleh seorang Nabi sudah tidak relevan kerena memang Nabi tersebut telah meninggal lama sehingga umat kebingungan dalam mencari patokan dalam hidup, Allah akan mengutus Nabi lagi guna memperbaharui aturan (syari'at) Nabi sebelumnya. Masa keguncangan umat pada syariat itu sering disebut dengan istilah fatroh. Seperti halnya Nabi Musa yang telah wafat lama kemudian Nabi Isa diutua untuk menasakh aturan yang ada. 

Berhubungan dengan itu, lalu bagaimana dengan Nabi kita Muhammad yang notabene Nabi terakhir. Syariat yang beliau bawapun adalah syariat terakhir dari Allah untuk penduduk dunia. Sehingga Al qu'an dan hadis yang sedari dulu itu haruslah shalihul li kuli zaman (relevan untuk setiap waktu). Jika kita bayanglan saja, berapa jarak keutusan Nabi Musa dengan Nabi Isa As? Berapa pula jarak antara zaman Nabi Isa dengan Nabiyuna Muhammad? Hal itu hanyalah kisaran ratusan tahun saja.

Kini kita telah hidup 1437 tahun yang lalu sejak baginda membawakan risalahnya. Jika jarak antara Nabi-Nabi yang tadi itu hanyalah ratusan tahun saja, maka saat ini kita sudah melalui fatroh yang kesimbah-simbahan, sudah beberapa kali lipat kefatrohan yang kita lalui. Hal ini menjadi tantangan kita untuk menjamin bahwa syariat Nabi Muhammad itu beda dengan yang lain karena ada unsur shalihul li kuli zamannya.

Al-Qur’an dan Hadist yang benar-bemar kuno itu berdampingan dengan perkembangan fenomena kehidupan manusia. Dengan begitu dinamisnya fenomena itu, lalu bagaimana Al-Qur’an yang tanpa perubahan itu bisa kita jadikan patokan hidup? 

Implikasi dari hal tersebut ialah, muncul golongan yang selalu menawarkan kontekstualisasi dalam mengimplementasikan aturan agama itu. Ada pula golongan yang bertentengan dengan itu, membid’ahkan apa yang oleh golongan pertema lakukan. Biasanya golongan yang kedua ini memang terlalu memandang agak secara tekstual, sedangkan yang pertama tadi menawarkan kontekstualisasi dengan pelebaran pandangan pada asbabun nuzul dan asbabul wurud lalu di kaitkan dengan fenomena pada hari ini guna mengambil kesimpulan dan hukum yang nantinya dijadikan petokan dalam mengarungi kehidupan. 

Berbicara tentang hukum atau apa yang harus kita perbuat dalam kesehari-hari, seharusnya ada penegasan antara apa itu syariat dan apa itu fikih yang nantinya jadi patokan teknis dalam sehari-hari. Mereka yang tekstualis terkadang kurang bisa membedakan kedua hal itu. Sehingga seolah-olah apa yang ada di Al-Qur’an dan hadis adalah syariat sekaligus fikih bagi mereka.

Terlepas dari kedua golongan tadi, adapula dari kita yang mengesampingkan hukum agama. Ketika ada suatu persoalan, maka kita justru berfikir dan mencari jawabannya sesuai disiplin ilmu yang berkaitan dengan persoalan tadi, baru mencari dalil teks yang bisa menguatkan kesimpulan berfikir kita.

Kembali ke pembahasan awal bahwa ibadah diklasifikasikan menjadi dua, makhdloh dan mu’amalah, sebenarnya ada rumusan yang telah diajukan ulama. Dalam hal makhdloh asal perkara itu diharamkan selama tidak ada dalil yang memperbolehkan. Sedangkan dalam bidang mu’amalah, semua hal itu mubah selama tidak ada dalil yang tidak memperbolehkan.

Melihat pengklasifikasian itu, sebenarnya hanya ada dibagian mu’amalah kita selalu kebingungan karena memang fenomena temtang mu’amalah selalu berubah. Berbeda dengan makhdloh yang sedari dulu memang sudah seperti itu dan tak mungkin ada perubahan. Selamanya ibadah sholat fardlu itu ya 5 waktu, atau selamanya ibadah haji itu ada rukunnya yang baku dan waktunya tetap sampai kapanpun, tidak ada perubahan disana.

Dalam hal mu’amalah yang berkaitan dengan manusia, sebenarnya agama telah memberi batasan yang jelas, namun harus ada usaha berfikir yang keras dalam menjalankan ibadah mu’amalah yang benar itu. Dalam hadis disebutkan bahwa hal yang baik itu apa-apa yang tidak ada keraguan dalam hati kita, atau agama sudah memberi keleluasan untuk istafta qolbak, minta fatwalah pada dirimu sendiri!. Dalam hal lain disebutkan bahwa apa yang dipandang oleh manusia itu baik, maka oleh Allah adalah lebih baik.
 
Penulis mengakui memang belum begitu fasih berbicara mengenai agama, dan apa yang penulis sampaikan terkesan sepenggal-sepenggal untuk membicarakan ibadah mu’amalah. Dalam hal ini penulis hanya ingin memberi kesimpulan (untuk saat ini, mungkin bisa saja berubah dilain hari. Semoga penulis selalu dalam hidayah Allah) bahwa ibadah mu’amalah diberikan Allah pada manusia dengan keleluasaan manusia dalam memandang mana yang harus dilakukan dan mana yang sebaiknya tidak dilakukan, tentunya dengan fikiran yang telah manusia miliki untuk menentukan semua itu. 

Pada akhirnya bisa saja kita simpulkan bahwa perkara yang baik (baca: ibadah mu’amalah) itu tidak melulu harus ada dalilnya. Ada unsur antroposentris atau manusia yang menjadi tumpuan utama. Dengan demikian dalam hal mu’amalah kita diajarkan untuk mengesankan agama sebagai "agamanya manusia", bukan agamanya Tuhan. Karena manusialah yang beragama, adapun Tuhan tidak butuh apa-apa, Ia Ghoni pada tiap hal, tak terkecuali agama.

Wallahu a'lam...

0 Response to "Kebaikan Yang Tak Berdalil"

Post a Comment