Al yauma akmaltu lakum dinakum.
"Dihari ini (haji wada') kami telah sempurnakan agamamu"
Sebagai umat yang beragama, maka menjadi
konsekuensi logis bagi kita untuk mengimplementasikan hukum agama secara
keseluruhan di setiap laku kehidupan kita,"tanpa terkecuali". Tak ada
keraguan dan apalagi meragukan bahwa semua urusan hidup kita harus sesuai
panutan kitab suci Al-Qur’an dan Hadist Nabawiyah. Terlebih tujuan hidup
kita didunia hanya satu orientasi, ibadah dengan Syumul. Agama sudah
mengatur semua ibadah, Tuhan telah mendeklarasikan bahwa agamamu telah
sempurna, dalam artian semua sudah ada aturannya.
Dalam perkembangannya, tatkala para ulama
meneliti kedua sumber hukum itu, ada dua dikotomi ibadah dalam keseharian kita.
Mahdloh atau ibadah yang langsung berhubungan dengan Tuhan, seperti
Shalat, Puasa, dsb. Macam yang kedua ialah ibadah ghoru mahdloh atau
perihal yang berhubungan antar manusia, dalam hal ini sering dibahasakan dengan
mu’amalah seperti jual beli, gadai, pinjam meminjam, dsb.
Dalam sejarah beragama, tatkala Tuhan mengutus NabiNya
untuk umatnya lengkap dengan wahyu yang Ia tunjukan pada Nabi yang kemudian
untuk disampaikan pada umatnya demi mengatur kehidupan dimuka bumi, maka aturan
tersebut ada semacam periode kapan aturan itu harus dilaksanakan. Tatkala
aturan yang dibawa oleh seorang Nabi sudah tidak relevan kerena memang Nabi
tersebut telah meninggal lama sehingga umat kebingungan dalam mencari patokan
dalam hidup, Allah akan mengutus Nabi lagi guna memperbaharui aturan (syari'at)
Nabi sebelumnya. Masa keguncangan umat pada syariat itu sering disebut dengan
istilah fatroh. Seperti halnya Nabi Musa yang telah wafat lama kemudian Nabi
Isa diutua untuk menasakh aturan yang ada.
Berhubungan dengan itu, lalu bagaimana dengan Nabi
kita Muhammad yang notabene Nabi terakhir. Syariat yang beliau bawapun adalah
syariat terakhir dari Allah untuk penduduk dunia. Sehingga Al qu'an dan hadis
yang sedari dulu itu haruslah shalihul li kuli zaman (relevan untuk
setiap waktu). Jika kita bayanglan saja, berapa jarak keutusan Nabi Musa dengan
Nabi Isa As? Berapa pula jarak antara zaman Nabi Isa dengan Nabiyuna Muhammad?
Hal itu hanyalah kisaran ratusan tahun saja.
Kini kita telah hidup 1437 tahun yang lalu sejak
baginda membawakan risalahnya. Jika jarak antara Nabi-Nabi yang tadi itu
hanyalah ratusan tahun saja, maka saat ini kita sudah melalui fatroh
yang kesimbah-simbahan, sudah beberapa kali lipat kefatrohan yang kita
lalui. Hal ini menjadi tantangan kita untuk menjamin bahwa syariat Nabi
Muhammad itu beda dengan yang lain karena ada unsur shalihul li kuli zamannya.
Al-Qur’an dan Hadist yang benar-bemar kuno itu
berdampingan dengan perkembangan fenomena kehidupan manusia. Dengan begitu
dinamisnya fenomena itu, lalu bagaimana Al-Qur’an yang tanpa perubahan itu bisa
kita jadikan patokan hidup?
Implikasi dari hal tersebut ialah, muncul
golongan yang selalu menawarkan kontekstualisasi dalam mengimplementasikan
aturan agama itu. Ada pula golongan yang bertentengan dengan itu, membid’ahkan
apa yang oleh golongan pertema lakukan. Biasanya golongan yang kedua ini memang
terlalu memandang agak secara tekstual, sedangkan yang pertama tadi menawarkan
kontekstualisasi dengan pelebaran pandangan pada asbabun nuzul dan asbabul
wurud lalu di kaitkan dengan fenomena pada hari ini guna mengambil
kesimpulan dan hukum yang nantinya dijadikan petokan dalam mengarungi
kehidupan.
Berbicara tentang hukum atau apa yang harus kita
perbuat dalam kesehari-hari, seharusnya ada penegasan antara apa itu syariat
dan apa itu fikih yang nantinya jadi patokan teknis dalam sehari-hari. Mereka
yang tekstualis terkadang kurang bisa membedakan kedua hal itu. Sehingga
seolah-olah apa yang ada di Al-Qur’an dan hadis adalah syariat sekaligus fikih
bagi mereka.
Terlepas dari kedua golongan tadi, adapula dari
kita yang mengesampingkan hukum agama. Ketika ada suatu persoalan, maka kita
justru berfikir dan mencari jawabannya sesuai disiplin ilmu yang berkaitan
dengan persoalan tadi, baru mencari dalil teks yang bisa menguatkan kesimpulan
berfikir kita.
Kembali ke pembahasan awal bahwa ibadah
diklasifikasikan menjadi dua, makhdloh dan mu’amalah, sebenarnya
ada rumusan yang telah diajukan ulama. Dalam hal makhdloh asal perkara
itu diharamkan selama tidak ada dalil yang memperbolehkan. Sedangkan dalam
bidang mu’amalah, semua hal itu mubah selama tidak ada dalil yang
tidak memperbolehkan.
Melihat pengklasifikasian itu, sebenarnya hanya
ada dibagian mu’amalah kita selalu kebingungan karena memang fenomena
temtang mu’amalah selalu berubah. Berbeda dengan makhdloh yang
sedari dulu memang sudah seperti itu dan tak mungkin ada perubahan. Selamanya
ibadah sholat fardlu itu ya 5 waktu, atau selamanya ibadah haji itu ada
rukunnya yang baku dan waktunya tetap sampai kapanpun, tidak ada perubahan
disana.
Dalam hal mu’amalah yang berkaitan dengan
manusia, sebenarnya agama telah memberi batasan yang jelas, namun harus ada
usaha berfikir yang keras dalam menjalankan ibadah mu’amalah yang benar
itu. Dalam hadis disebutkan bahwa hal yang baik itu apa-apa yang tidak ada
keraguan dalam hati kita, atau agama sudah memberi keleluasan untuk istafta
qolbak, minta fatwalah pada dirimu sendiri!. Dalam hal lain disebutkan
bahwa apa yang dipandang oleh manusia itu baik, maka oleh Allah adalah lebih
baik.
Penulis mengakui memang belum begitu fasih
berbicara mengenai agama, dan apa yang penulis sampaikan terkesan
sepenggal-sepenggal untuk membicarakan ibadah mu’amalah. Dalam hal ini
penulis hanya ingin memberi kesimpulan (untuk saat ini, mungkin bisa saja
berubah dilain hari. Semoga penulis selalu dalam hidayah Allah) bahwa ibadah mu’amalah
diberikan Allah pada manusia dengan keleluasaan manusia dalam memandang mana
yang harus dilakukan dan mana yang sebaiknya tidak dilakukan, tentunya dengan
fikiran yang telah manusia miliki untuk menentukan semua itu.
Pada akhirnya bisa saja kita simpulkan bahwa
perkara yang baik (baca: ibadah mu’amalah) itu tidak melulu harus
ada dalilnya. Ada unsur antroposentris atau manusia yang menjadi tumpuan utama.
Dengan demikian dalam hal mu’amalah kita diajarkan untuk mengesankan
agama sebagai "agamanya manusia", bukan agamanya Tuhan. Karena
manusialah yang beragama, adapun Tuhan tidak butuh apa-apa, Ia Ghoni
pada tiap hal, tak terkecuali agama.
Wallahu a'lam...
0 Response to "Kebaikan Yang Tak Berdalil"
Post a Comment