"Farid main HP sambil baca buku filsafat"
"Farid baca buku Filsafat sambil main HP"
Sekilas memang kedua ungkapan ini sama. Sama-sama menggambarkan aktifitas seorang mahasiswa kondang bernama Farid. Namun, jika kita bisa melihatnya lebih dari sekedar membaca dalam artian mengangen-angennya, dengan bumbu teori terkait kebahasaan maka ada perbedaan yang besar dari keduanya.
Pada ungkapan "main HP sambil baca buku" menegaskan bahwa Farid itu lebih fokus pada main HP ketimbang membaca, adapun pada ungkapan kedua ia fokus pada baca buku ketimbang main HP.
Begitulah bahasa, betapa dahsyatnya ia hingga mampu mengatur ritme emosional seseorang, bahasa mampu merubah dunia, bahkan Tuhan pun dapat dicapai oleh manusia dengan bahasa. Olehnya bahasa tak akan habis untuk dibahas, hal ini bisa kita telusuri dengan banyaknya fan keilmuan tentang bahasa mulai dari semisal dalam bahasa Arab saja ada ilmu Nahwu, Shorof, Balaghoh, Sastra, Fiqh Lughoh, dan lain-lain. Ada pula yang diintegrasikan dengan keilmuan yang lain, seperti Psikolinguistik, Antropolinguistik, Sosiolinguistik, dsb.
Bahasa itu diartikan sebagai sistem lambang bunyi yang arbiter, dinamis, beserta sifat yang lain dan digunakan untuk alat komunikasi.
Pada kesempatan kali ini penulis berminat membahas "kedinamisan" bahasa itu. Kedinamisan bahasa bisa dilihat bahwa bahasa selalu berubah, tidak pernah stagnan baik penambahan katanya atau perubahan makna. Salah satu tema yang dikaji dalam hal itu ialah denotasi dan konotasi. Denotasi yang berarti arti asal sedangkan konotasi berarti perubahan arti. Bahkan terkadang begitu dinamisnya sebuah bahasa, kita akan kebingungan mana yang sebenarnya konotasi mana yang denotasi atau bahkan membingungkan juga, sebenarnya apakah ada konotasi dan denotasi itu melihat dalam kenyataannya setiap kata sudah memiliki maknanya sendiri. Bingung? Silahkan pikir lebih dalam atau diskusikanlah dengan para kolega.
Jika kita tarik di dunia nyata misalnya, kata halal, haram, bid'ah, dan lain-lain yang notabene ialah khazanah (sumber keilmuan) hukum Islam yang sekarang seolah berkonotasi negatif karena pada nyatanya kata-kata itu digunakan dalam konteks yang terkesan negatif. Seperti menyalahkan, men"sesat"kan dan menyesatkan pihak lain, atau bahkan provokasi.
Hal ini tentunya sangat berbahaya dan sensitif karena berhubungan dengan agama. Selain itu, pergeseran konotasi tersebut sepertinya tidak senada dengan visi agama Islam yang menebar rahmat untuk seluruh alam.
Saya lebih adem dan dalam hal ini setuju dengan para pendakwah zaman dahulu yang mempromosikan hukum-hukum fikih itu dalam terjemahan bahasa Jawa yang lebih santun dan sesuai dengan kultur masyarakat lokal. Dalam hal ini para sesepuh dulu hanya merubah bahasa tanpa ada perubahan konsep dalam Islam. Salah satu hasil produk pemikiran mendalam mereka itu ialah kata "ora elok" (makna terjemah yang paling dekat dalam Bahasa Indonesia adalah tidak etis atau tidak sopan atau tidak pantas) yang sepadan dengan hukum "makruh". Saat mengatakan rokok itu makruh, kita tinggal bilang saja bahwa "jangan merokok, ora elok nang!".
Ungkapan yang demikian sepertinya lebih mengena dalam tujuan mengingatkan pada orang lain. Serta terasa lebih adem. Selain itu konsep kemakruhan rokok itu juga tak ada yang tereleminasi. Dengan ora eloknya rokok, perokok bisa memilih, mau lanjut rokok ndak papa, artinya tidak berdosa atau meninggalkan rokok dengam keuntungan mendapat keutamaannya berupa pahala.
Silahkan saja kita merajut istilah-iatilah fikih itu dalam bahasa jawa untuk pendakwahan agama yang damai lalu kita mulai promosikan pada masyarakat supaya mereka setuju. Karena salah satu sifat bahasa pula ialah ada semacam kesepakatan dalam diri masyarakat.
Penulis sendiri mengusulkan beberapa istilah itu:
1. Wajib : Kudu (harus)
2. Halal : Enak (nikmat)
3. Haram : ora ntuk (tidak boleh)
4. Makruh : ora elok (tidak etis, tidak sopan, tidak pantas)
5. Sunah : ka-anjurake (dianjurkan)
6. Mubah : dimanggake (dibolehkan)
1. Wajib : Kudu (harus)
2. Halal : Enak (nikmat)
3. Haram : ora ntuk (tidak boleh)
4. Makruh : ora elok (tidak etis, tidak sopan, tidak pantas)
5. Sunah : ka-anjurake (dianjurkan)
6. Mubah : dimanggake (dibolehkan)
Bagaimana? Aneh bukan? Monggo anda silahkan merangkainya. Heheπππ
NB: tulisan ini hanya sekedar opini penulis yang (tak) patut untuk dijadikan referensi!
0 Response to "Bahasa Komunikasi Fikih Kejawen"
Post a Comment