Entah mengapa wacana ini kembali begitu rame dibicarakan setelah akhir-akhir kemarin sempat sepi kalah pamor dengan isu Qatar, Habib Riziq, Ahok, atau klub mega bintang Real Madrid itu. Sebenarnya saya males mengikuti isu pendidikan Indonesia yang memang tak usah serius-serius anda mengikutinya. Coba anda bayangkan! Sebenarnya apa maksud pendidikan Indonesia di era saat ini?
Jika kita mau fair berbicara tentang sekolah, kurikulum, kebijakan yang terkait dengan pendidikan, maka ia seharusnya lebih dari sekedar penjual gorengan, lebih dari pabrik yang hanya main untung-untungan tanpa melihat sekanan-kirinya. Input dan output pendidikan itu manusia, berbeda dengan bakwan yang sudah jelas inputnya sayur, bumbu, tepung dengan output bakwan kemriyuk lezat dan cita rasanya yang enak. Lha kalau pendidikan? Mau menghendaki manusia yang seperti apa coba? Manusia yang bermanfaat? Yang bagaimana? Manusia yang mampu memunguti sampah dari Sabang sampai Merauke? Supaya orang lain merasa dapat manfaat karena jalanan bersih? Manusia itu makhluk yang sangat rumit dengan komponen pembentuknya yang kompleks. Ada kognitif lah, psikis lah, dan tentunya fisik lah.
Olehnya, jika pendidikan (dalam hal ini lembaga pendidikan) dijadikan media untuk menunjang proses pengoptimalan segala potensi yang manusia miliki lengkap dengan kerumitannya tadi, maka ya jangan main-main! Rancang proses itu dengan serius, bukan gonta-ganti kebijakan seperti saat ini sekolah Full Day yang identik dengan meraba-raba tak jelas dan kental akan implementasi coba-coba.
Jujur saja, memang dunia pendidikan kita sekilas tampak menuai penurunan grafik. Okelah anak-anak sekarang jauh lebih pintar ketimbang zaman dahulu. Penulis saja dulu baru bisa baca tulisan "U P I L" kelas 2 SD, itu saja karena terdesak oleh guru yang agak killer dan ejekan meremehkan dari teman-teman. Udah gitu saat membaca juga harus dieja terlebih dahulu, atau tak perlu dieja, namun harus diam loading beberapa detik baru bisa membaca. Berbeda dengan anak-anak sekarang yang sudah mahir membaca menulis sejak taman kanak-kanak.
Kemajuan yang demikian itu ternyata didampingi dengan beberapa kebobrokan. Kebobrokan yang paling utama ialah, konsumen dari "perusahaan pendidikan" di negeri ini entah itu perusahaan negeri atau swasta sekarang telah kehilangan ruh dari pendidikan itu sendiri. Orientasi mereka bersekolah atau menyekolahkan ambyar (ambigu) tidak jelas, kalaupun jelas itu pasti berorientasi pada komersialisasi, ujung-ujungnya sekolah hanyalah formalitas belaka. 9 tahun wajib bersekolah, mengejar ijazah tanpa sadar pentingnya sebuah esensi apa yang sebenarnya dicari. Ini mau ditambah (lagi) dengan konsepsi Full Day, tentunya jika dikalkulasi akan lebih dari hanya 9 tahun masa ketidakjelasan itu.
Sehemat penulis, ada beberapa pendekatan dalam kebijakan pendidikan. Salah satunya ialah pendekatan Top Down yang mirip dengan bapak menteri pendidikan Muhajir terapkan saat mencuatkan wacana Full Day. Kebijakan macam ini semacam cerita dari "langit saja". Mereka mengidealkan sesuatu lalu diterapkan bukan pada diri mereka, akan tetapi pada orang lain, lembaga lain, sekolah lain yang kondisinya berbeda dengan dirinya.
Atau pendekatan Grass Root yang menentukan kebijakan pendidikan atas apa yang ada dilapangan. Wajah dari pendekatan ini ialah kebijakan yang ramah lingkungan karena sesuai dengan kebutuhan lapangan, namun tentunya menguras energi banyak, dana banyak, dan tentunya waktu yang banyak.
Penulis bukanlah skeptis dengan setiap apa yang ditetapkan oleh pemerintah. Penulis tentu sadar bahwa wacana itu tidak waton njeplak melihat jam terbang orang nomor satu di kementerian pendidikan yang notabene adalah mantan rektor UMM. Muhammadiyah organisasi anda juga memang terkenal baik dalam pendidikan, orang-orangnya selalu jadi langganan untuk mengisi kursi di kementerian pendidikan dan kebudayaan. Tak seperti penulis, orang NU yang sekolah saja "Madrasah", gurunya ikhlas-ikhlasan, gedung dan sarana seadanya dana? Kami main nekat-nekatan, apalagi bicara menegement kami yang semrawut, belum lagi sikut-sikutan sama-sama madrasah yang bernafaskan NU, berbeda dengan lembaga Muhammadiyah yang solid dalam berbagai aspeknya.
Namun, kebijakan itu perlu dipertanyakan kembali. Sekarang ini, jika kiblatnya pendidikan itu Finlandia atau negara barat yang lainnya. Bukankah sedang ngetren belajar yang tak perlu lama, tak perlu ada PR, santai tidak ngoyo semisal Full Day. Apa tidak "kasihan" dengan TPQ, Madrasah Dinniyah, Ngaji sore.
Jika pemerintah (baru) menerapkan konsepsi Full Day, konsepsi Full Day (atau bahkan All Time) yang sesungguhnya sudah diterapkan di pondok pesantren. Jika Full Day hanya sampai jam 5, pondok pesatren hingga 24 selalu sibuk akan kegiatan pendidikan. Memang 24 jam di pondok pesantren tak selalu dihabiskan dengan belajar terus menerus (di pondok, penulis terkadang melaksanakan Ro'an, bahkan rokokan, bermain, tidur pulasπ
π
π
π
).
Ataukah memang kementerian pendidikan terinspirasi dengan sistem pondok pesantren?
Tak ada salahnya jika kita meneruskan model pendidikan pesantren ataupun model pendidikan yang lain yang sesuai dan sangat sesuai dengan kultur ke-Indonesia-an kita. Bukan malah menghapus dengan modus Full Day itu. Mari bersama-sama perbaiki yang sudah ada.
Prinsip belajar adalah untuk tahu caranya hidup, melewati hidup, menatap masa depan. Belajar bukan tentang angka. Sekarang orang sukses itu bukan mereka yang sukses (versi pendidikan) saat sekolah dulu. Namun orang sukses ialah mereka yang kuat kuda-kuda jiwanya. Saat lulus, apa gunanya matematika kalau bukan hanya sebatas penambahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian. Bagaimana dengan Kimia, Fisika, Biologi, dsb. Artinya ilmu yang njlimet dihafalkan di sekolah dulu tak (selalu) terapkan banyak di masyarakat saat ini.
Wallahu A'lam....
0 Response to "Cerita Itu Berjudul Sekolah Full Day"
Post a Comment