Ini Tentang Rasa, Bukan RasA

pixabay.com

Buku itu setiap hari dibuka, 
Lembar demi lembar yang belum juga  usang, 
Kadang menoleh ke cerita purbakala, 
Tertulis deretan kata menyimpan berjuta makna, 
Tak syarat mentari dan rembulan menemani langkahnya. 


Ia tersenyum dan menangis beriringan bersahutan.


Tentang kehidupan dengan darah berkucuran, 
Atau kedudukan dengan selir dan mata uang berserakan. 

Tentang tawa kepuasan dihati para pemenang, 
Tentang janji pemimpin yang selalu di abaikan,

Jangan masuk dunia perpolitikan, 
Kata guru ngaji yang wirai selalu terniang, 
Masih dengan raut muka polos si anak yang lagi belajar bersarung, 
Dengan "kopyah" lusuh dan sedikit dimiringkan, 
Eskpekstasi mengatakan dunia yang indah mengapa tak boleh dimasuki, 
Mengapa dan kenapa bercampur aduk dr masa kemasa.


Anak beranjak dewasa, 
Ia mulai mengerti tentang rasa, 
Gemilang jalan mulus tak berlubang, melangkahkan kaki pada tingginya kedudukan, 
Kaki mulai terhenti pada janji tentang kepemimpinan, 
Guru yang selalu membimbing, mengasuh dan menyelamatkan. 

Dengan nasehat yang semakin terniang terang.


Jas dan berdasi, 
Berkopyah dan bersarung, 
Masih akan satu pintu, 
Berjalan dengan tegap, 
Tersenyum dengan rapi, 
Berjanji dengan ekspresi. 

Masih saja menggunakan ilusi menyentuh intuisi.


Sang anak tadi mengunci pintu dari luar, 
Berkata selamat tinggal pada dunia partai dan kedudukan, 
Menghapus memori tentang dosa-dosa sejarah perpolitikan, 
Menjadi lusuh dan kumuh tak lagi dikenal.


Ia tak mengenal rasA dan rasa.

Ia hanya tau kebhineka tunggal ika saja, 
Indonesia berbudi dan berbudaya, 
Menjunjung tinggi agama
Salim sapa salam santun pada sesama.


Rekah senyum melekat pada anak ingusan, 
Santri dari ayunan sampai mengalir ke dunia kejam memilukan, 
Mulai pergi dan menghilang,

Bahwa dunia tak lagi perang tentang kepercayaan, 
Dunia juga berambisi memainkan sudut pandang, 
Perbedaan menjadi raja dari dunia maya, 
Entah merajakan siapa dan mengenai apa, 
Semua semakin menambah lengkap formasi bumbu masakan ibunda. 

Bumi pertiwi yang tercinta.


Pahlawan menangis darah bertempur melawan penjajah, 
Anak cucunya berbondong-bondong berjihad atas nama apa, 
Melawan saudara kandung, seiman, dan sebangsa. 

Mengucap syukur atas nama samudra, 
Maju kedepan meruntuhkan benteng keadilan, 
Mengatakan keprihatinan yang ujungnya berpisau lidah berurat nadi bercampur sampah
Dan, sang pembuat naskah cerita mengakhiri bukunya dengan tanda titik juga tertawa puas sembari meminum kopi yang tak lagi panas.


Kadjen, 17 Mei 2017
Pengais rasa keblinger dunia yang penuh cahaya keajaiban malam.

0 Response to "Ini Tentang Rasa, Bukan RasA"

Post a Comment