Paradoks memang hal yang biasa dalam dunia kita dan sesekali kita mengganggap sebuah paradoks sebagai hal yang mudah karena memang ini hal biasa yang dengan mudah kita temukan sehingga kita bisa saja melenggang mudah mengatasi berbagai paradok yang muncul didalam hidup sehari-hari. Namun lain halnya jika paradoks itu terkait dengan agama, kerumitannya menjadi jadi manakala kita memahami dan terus menggalinya. Disamping keselamatan kita didunia dan akhirat yang menjadi taruhannya.
Diantara ke-paradoks-an dalam agama adalah terkait apakah kita semestinya menjadikan agama sebagai barang dzohir sehingga dimanapun kita, kita tetap memumculkan keagamaan kita atau bertentangan dengan hal itu, dalam konteks hidup didunia yang berdampingan dengan pemeluk agama lain lebih-lebih kita mendapat tugas melestarikan kerukunan guna hidup berbangsa dan bernegara yang adem tentrem, sepertinya kita agak bijak jika memosisikan agama sebagai urusan masing-masing individu dan memperlakukannya sebagai privasi.
Bagi mereka yang menganggap agama merupakan entitas yang patut diamalkan dan bercermin pada sumber-sumber agama, maka syiar dalam beragama menjadi hal yang wajib untuk dilakukan, tak memandang dengan siapa kita berhadapan diaktifitas sehari-hari. Adzan harus dengan pengeras suara, berpakaian baju taqwa atau minimal ber-aura Islami saat kemanapun, stiker di motor, mobil, atau wallpaper HP yang serba Islami, demonstrasi dengan pekik takbir, dsb. Hingga puncaknya mungkin formalisasi hukum Islam dalam berbangsa dan bernegara. Tentunya hal ini bukanlah hal yang salah. Mereka punya argumen dan referensi yang kuat untuk mendukung apa yang mereka lakukan.
Kita mungkin sangat bisa berlaku demikian saat kita hidup di lingkungan yang mendukung atau kita ada dalam lingkaran yang memposisikan kita sebagai mayoritas dan berlagak superior. Namun, perlakuan ini agaknya membuat mereka yang ada pada posisi minoritas atau orang-orang yang beda keyakinan dengan kita atau bahkan meskipun mereka satu keyakinan akan tetapi beda pandangan merasa tidak nyaman dan terasa terbelenggu.
Olehnya, sebagian kalangan dari kita berpandangan bahwa beragama tidak harus bersikap selalu serba agamis atau bahkan mereka berpendapat bahwa tidak agamisnya mereka itu sebenarnya jauh lebih agamis dari golongan yang pertama tadi.
Agama sebagai privasi dalam artian kita cukup meletakkan keyakinan kita sebagai entitas yang perlu dalam beragama. Tidak perlu memutar qiro' saat menjelang maghrib, berpakaian sebagaimana semestinya sesuai kebiasaan yang ada dilingkungan kita hidup, dan peng-implementasi-an hukum agama sebagai tanggungjawab masing-masing bukan orang lain.
Kedua pandangan ini memang memiliki hal positif dan efek negatif bagi diri sendiri atau dan orang lain. Olehnya, jika semua orang sadar akan hal ini, tak terkecuali orang yang berbeda keyakinan dengan kita, maka bolehlah kita berkelakuan seagamis mungkin sesuai keyakinan kita masing-masing, karena kita punya hak untuk memperjuangkan apa yang kita yakini itu sembari sadar bahwa ada nilai privasi dalam kita hidup beragama. Karena agama tetap urusan masing-masing, sehingga kita harus bijak memosisikannya dalam hidup bermasyarakat.
Wallahua'lam.
0 Response to "Agama: Antara Syiar Dan Privasi"
Post a Comment