Dalam sebuah tulisannya, Cak Nun pernah membahas terkait ungkapan ini "hā ana dzā" (inilah aku). Beliau dengan teliti menggunakan ungkapan tersebut untuk menelanjangi perilaku masyarakat yang cenderung gagap dalam berkepribadian. Sebagai contoh, tutur beliau, musisi era sekarang lebih suka meniru gaya musisi lain dalam rangka meningkatkan harga jual di pasaran musik Indonesia. Berbeda dengan musisi terdahulu yang tampil dengan gayanya yang memiliki kekhasan masing-masing. Bimbo dengan ritme melow bertema religinya, Koes Plus yang cenderung mendayu-dayu dan lain sebagainya. Ironisnya, saat ini musisi copy paste itu ternyata berhasil laku di pasaran.
Fenomena ini mengindikasikan bahwa baik musisi sebagai subjek kreatif, atau penikmat musik sebagai objek, sama-sama bermasalah dalam hal jati diri. Mereka lebih nyaman mengesankan diri sebagai orang lain. Mereka kurang percaya diri untuk menjadi diri mereka sendiri.
Dahulu, penulis juga lebih suka memberi embel-embel nama kebesaran (gayane.heuheu) bapak saya setelah menyebut nama penulis sendiri. Cholik Suaral misalnya. Motifnya hampir mirip dengan musisi copy paste di atas. Alhasil banyak teman yang mengenang nama ayahanda. Sebagian mencari tahu siapa ayahanda penulis, sebagian selalu mengingatnya karena mungkin nama Suaral terkesan unik dan tak ada yang lain selain ayahanda penulis. Akhirnya penulis berbangga ria dengan nama Cholik Suaral itu.
Selang beberapa tahun, embel-embel Suaral penulis hilangkan. Bukan karena sedang bangga dengan diri sendiri atas penamaan yang demikian, namun malas saja. Model mencantumkan nama ayah setelah nama penulis ditiru oleh sebagian teman-teman penulis. Sudah jadi model pasaran yang mainstream dan penulis menjadi kurang nyaman saja kalau banyak yang meniru.
Entah apa motif mereka, yang jelas penulis sah saja mengatakan bahwa mereka sedang tidak PeDe menyandang ke-aku-an mereka. Atau mereka mudah sekali meniru "gaya" penulis. Meskipun penulis sendiri terkadang juga meniru dari orang lain, masalahnya, apa tingkat kepercayaan diri mereka dalam model menuliskan nama gaya sendiri semudah itu tergoyahkan dan mengganti model yang lain.
Kembali ke tema awal.
Sebagai "pelaku" ketidak percayaan pada kepribadian, penulis juga pernah menjadi "korban".
Ceritanya, penulis pernah ditugaskan menjadi delegasi untuk acara kongres nasional sebuah organisasi antar kampus. Waktu itu penulis beserta seorang teman datang terlambat (maklum, itu sudah jadi kearakter mayoritas bangsa). Betapa terkejutnya kami, saat kami memasuki gedung acara berlangsung, ternyata acara tersebut belum juga dimulai. Ketika kami rampung mengisi kolom registrasi, acara yang disiapkan berbulan-bulan oleh panitia itu baru dimulai. Usut punya usut panitia mengistimewakan penulis beserta kolega. Bukan karena telatnya (ya nggak mungkin keles!), namun karena penulis adalah delegasi kampus yang dipandang panitia sebagai kampus yang bonafid dalam bidang tertentu.
Hal tersebut dapat penulis simpulkan saat selama acara 3 hari itu, beberapa panitia bahkan peserta memberi tatapan yang beda. Gelagat mereka tidak biasa. Mulai memberi hak bicara yang cukup, menanyakan beberapa tokoh besar di bawah naungan instansi kami, dan lain sebagainya. Di satu sisi, kami merasa terhormat dan seakan mendapat keistimewaan dari kampus, namun di satu sisi lainnya merasa bahwa delegasi kami termasuk dalam kategori ambyar. Kami tak sehebat itu.
Justru penulis khawatir kalau saja selama kegiatan bukan mengharumkan kampus, tapi justru menurunkan martabat kampus. Beliau-beliau yang berjuang di instansi kami sibuk mempertahankan apa yang ada, bahkan citra nama kebesaran instansi, sedang kami tak punya daya mencitrakan apa yang ada di lingkar instansi saat berada di luar lingkungan instansi.
Tidak sampai di situ, selepas keluar dari instansi tersebut, penulis juga sering mendapat kesan sebagai "generasi prematur" oleh masyarakat hanya dengan melihat instansi yang pernah menjadi tempat kami menimba ilmu. Hal positif dari pengesanan itu tentu ada, namun yang lebih mengkhawatirkan, bisakah penulis membenarkan kesan-kesan itu?
Cerita ini jelas menggambarkan bahwa orang yang sudah terlanjur bangga dengan selain dirinya, maka melihat orang lain pun tak mau melihat diri orang itu, perilakunya, kepribadiannya. Namun atribut yang kebetulan bersemayam pada diri orang lain. Padahal orang yang jantan bukanlah ia yang mengatakan, "inilah bapakku" atau "inilah instansiku". Namun, seorang yang paham terhadap dirinya akan mengatakan, "inilah aku!". Seseorang yang paham terhadap dirinya tak akan melihat orang lain dengan berkata: "itulah bapaknya", "itulah instansinya". Namun, akan melihat orang lain dengan berkata, "itulah dia!". Ungkapan: Aku sesuai perasangka dia (HambaKu) kepadaKu, hanya pantas untuk tuhan. Manusia tidak bisa berperilaku sesuai perasangka manusia lain. Dan sumber memperasangkakan manusia lain salah satunya ialah atribut yang kebetulan bersandar pada seorang manusia.
Syukur saja, di usia yang kesekian kalinya penulis diberi kesempatan Tuhan untuk berperan menjadi "pelaku" ketidak PeDe-an eksistensi diri sekaligus "korban" ketidak PeDe-annya. Jika pembaca juga pernah menjadi pelaku dan korban, maka tak perlu begitu membanggakan apa yang ada di luar diri anda, sekaligus tak perlu menjadikan orang lain korban dengan menilai kepribadiannya semata-mata dari bapaknya, instansinya, lingkungannya, temannya.
Wa Allahu A'lam...
*Sekedar curhat, bila ada kesamaan kasus, maka hayuk ngopi untuk cari bagaimana baiknya bersikap.
0 Response to "Hā ana dzā"
Post a Comment