"Tiap orang bisa merencanakan tujuan, Namun sulit menerka akhir perjalanan, yang bisa dilakukan selekasnya melangkah, dengan derap tak boleh setengah-setengah." (Najwa Sihab)
Tak terasa, beberapa hari berlalu kita menyandang gelar sarjana. Tak terasa pula lebih dari 4 tahun melewati hari bersama dalam satu nada, meski terkadang terselip debu pertikaian namun tetap indah dalam naungan saudara.
Surutlah sudah hingar bingar euforia toga itu. Kini tinggal tersisa aneka cerita yang mungkin tak mampu seorang pun melupakannya. Iya, mulai cerita yang yes, yap, yuhu, hingga nyess nyesek, ngekngok. atau yang ini! Cerita haha hihi, gembar gembor, slundap slundup, undak unduk, sat set sat set, op cus, wok set wok set, dan jozzzah. Mā ajzosa (betapa josnya) kesemuanya itu? Harus berapa warna untuk melukiskan semua cerita ini? Butuh berapa jam untuk mendeskripsikannya dalam kata-kata? Adakah kata yang lebih tinggi ketimbang syukur saat mengingat kesemua itu?! Jika ada, maka pantaslah kata itu.
Hahaha, jangan selebay itu lah. Saya pribadi masih saja tersenyum saat mengingat kekoplakan kita (baca saya: penulis!) di bangku kuliah, masih saja tertawa namun tertegun pada sampean-sampean yang hidupnya jujur tanpa manipulasi, namun tetap saja -maaf- kucluk ya kalau dipikir-pikir. Mulai masuk jurusan yang mbarang dengah asal bisa kuliah -maklum, dulu nggak tahu apa itu PBA, PS, PMI, apalagi PGRA. Saya kira kalian juga sama kan dengan saya? Kalau tidak, kenapa saat ditanya dosen pas pertama kuliah tentang 'mengapa milih PBA?' jawaban kalian tak menjurus tapi mengherankan: "disuruh orang tua pak" ; "ta'dzim sam'an wa thoatan sama Kyai saya pak" ; "ingin kumpul orang-orang sholih pak" ; "gak penting pak PBA atau apa, hanya ingin ngalap barokahe Mathole' pak" dan seambrek jawaban-jawaban nyleneh lainnya.
Saya yakin seyakin-yakinnya, dosen yang sedari awal nanya serius itu juga akan bingung bersikap mendengar itu semua. Untung saja nanyanya pas awal kuliah, coba semester 6 ditanya demikian, mungkin lain lagi jawabannya. "Pelarian pak!"; "Menjemput jodoh dari Tuhan pak" atau "ingin cari besan pak" "gak tau pak, intinya saya nyaman saat bersama mereka". Hahaha ini belum kisah yang lain. Kalau dibikin manaqib, cerpen, novel, maka mungkin akan jadi best seller terkoplak mengagumkan.
Amma ba'du! Cerita tinggal cerita, perpisahan ini nyata, singkat, dan tak disangka sebagaimana kita (baca: penulis?) Tak menyangka bertemu manusia-manusia menyenangkan sebangsa kalian. Kebersamaan itu seperti oase di tengah hidup yang penuh tanda tanya, hidup yang serba pusing. Ketemu dosen pusing, nggarap tugas pusing, jatah bulanan yang telat juga pusing, ngurus organisasi sok yes juga pusing. Namun entah, dulu, saat berkumpul, semua menguap menjadi canda tawa. Benar-benar oase yang patut dilestarikan!
Selamat jalan, selamat berpisah, sampai bertemu di dunia maya kawan! Suatu saat -jika kita (baca: penulis!) mau jujur- mungkin kita akan merindukan sosok Imamuna Djangkar yang pandai mengayomi wanita, atau rindu pula kita pada Kyai Aziz Liverpudlian yang pandai bermain mimik (baca yang baik, jangan sampai keliru baca mimin! He), satu detik marah, detik kedua humoris, selanjutnya bijaksana. Atau (rindu pula kita pada) suNani, lelaki yang mengaku ingin mendirikan UNISA (Universitas Sayung), atau mimpinya menjadikan Demak berpisah dari NKRI bahkan hendak mendirikan benua sendiri -amini saja lah ya, biar dia senang di sisinya 'N'nya kecil!-. Belum lagi Kyai Haul -atholalLahu umurahu- yang selalu tahu isi kitab apapun, yang 'alimu ghoib wa jahr yang lākhaufun alaih walāhum yahzanun, yang sayang sekali masih jomblo sampai sakniki, -yi yi ah!- Kita akan kagen pada Mas Muchtar si Mega Pro ireng, juga Pak Guru Endri yang langsung tancap gas sesuai rel sarjananya mengajar, mencerdaskan kehidupan bangsa. Lupakah kita kelak pada Dek Nasrul yang punya suara emas itu? Atau Dek Oky cah cintah yang fasih berbicara asmara, hingga saat ada pembahasan jika ada dua insan memadu cinta namun tak sampai pada pelaminan lalu insan tersebut tersungkur gagal move on, maka akan sampailah pada kesimpulan bahwa semua itu kesalahan pendidikan Indonesia yang selalu menuntut kita (konsumen produk pendidikan) untuk mengingat namun tak pernah mengajari kita bagaimana cara melupakan (huhuuu, pancal ndase!).
Lagian kog bisa-bisanya mereka dipanggil 'Dek' sedang penulis yang lebih muda di sapa 'Mbah'. Humm. Kasian juga kan Mas Danik yang paling muda di antara kita namun tak juga tersematkan kata Dek. Alih-alih dipanggil Dek malah sebutan Mblotong yang bersandar padanya.
Lagian kog bisa-bisanya mereka dipanggil 'Dek' sedang penulis yang lebih muda di sapa 'Mbah'. Humm. Kasian juga kan Mas Danik yang paling muda di antara kita namun tak juga tersematkan kata Dek. Alih-alih dipanggil Dek malah sebutan Mblotong yang bersandar padanya.
Kusampaikan pula salam perpisahan pada Srikandi - Srikandi muda angkatan '13. Kepada gadis Kadjen yang anggun, organisator ulung, Neng Lia! Semoga Tuhan meridlai setiap langkah hidupmu sehingga derap langkahmu adalah langkah yang terbimbing (Muhtadi) sampai bersinarlah cahaya-cahaya surgaNya. Sepertinya kita harus berterima kasih pula pada Lailaini Cumlaudaini.
Pertama Siti Lailani ingkang asli Wonogiri ter sae seInstitut nomor siji, tanpa beliau mustahil rasanya kita bisa duduk nyaman di kursi terdepan saat wisuda dengan predikat skripsi tertelat. Juga Nona Laili Syafa yang ma syaa Allah ta'ala, sang penari pena handal yang menaklukkan mahasiswa se-Jawa Madura. Tak terelakkan pula putri Mustika Sholehah yang hadirnya mampu mencairkan suasana, walau saat genting sekalipun, belum lagi Hilda yang Sae dan selalu Syae! Neng Nieya, mendadak jadi penyanyi qomaroon dengan merdunya, entah direferensikan siapa qomaroonnya Neng ini. Mbak Asyir yang baru-baru ini saja saya ketahui asyik juga menjadi teman curhat. Kemarin-kemarin kemana Nyai?! Lanjutkan bakatmu njeh Babasy, atau wanita dengan jiwitan mematikan ini: Neng Arif Faedah, Neng Dzawil yang jikalau keluar cerewetnya kita akan kesulitan mememukan mana titik, mana koma, mana tanda seru, mana titik dua di antara rentetan perkataannya. Dek Na, yang 'pernah' digosipkan dengan pendekar dari ufuk selatan kota Pati, kalau iya, aku siap kok jadi perantara Dek Na. Cukup udud Senior sak bungkus in syaa Allah jadi wis. Huhuu, pancal ndase! Aku akan rindu pada kalian semua nduk.
Pertama Siti Lailani ingkang asli Wonogiri ter sae seInstitut nomor siji, tanpa beliau mustahil rasanya kita bisa duduk nyaman di kursi terdepan saat wisuda dengan predikat skripsi tertelat. Juga Nona Laili Syafa yang ma syaa Allah ta'ala, sang penari pena handal yang menaklukkan mahasiswa se-Jawa Madura. Tak terelakkan pula putri Mustika Sholehah yang hadirnya mampu mencairkan suasana, walau saat genting sekalipun, belum lagi Hilda yang Sae dan selalu Syae! Neng Nieya, mendadak jadi penyanyi qomaroon dengan merdunya, entah direferensikan siapa qomaroonnya Neng ini. Mbak Asyir yang baru-baru ini saja saya ketahui asyik juga menjadi teman curhat. Kemarin-kemarin kemana Nyai?! Lanjutkan bakatmu njeh Babasy, atau wanita dengan jiwitan mematikan ini: Neng Arif Faedah, Neng Dzawil yang jikalau keluar cerewetnya kita akan kesulitan mememukan mana titik, mana koma, mana tanda seru, mana titik dua di antara rentetan perkataannya. Dek Na, yang 'pernah' digosipkan dengan pendekar dari ufuk selatan kota Pati, kalau iya, aku siap kok jadi perantara Dek Na. Cukup udud Senior sak bungkus in syaa Allah jadi wis. Huhuu, pancal ndase! Aku akan rindu pada kalian semua nduk.
Siapapun kalian, mungkin tak mungkin akan terlupakan. Abaikan banyolanku bahwa "kelak jika aku bertemu kalian maka tak mau aku menyapa dahulu," karena setiap huruf dari nama kalian terpatri jelas dalam memoriku, kelak jika ada saat bertemu, secepat kereta nama itu menggema dalam hatiku dan kau akan ku sapa terlebih dahulu temans.
Ndak ngoten a Neng Fida, Bu Presiden yang tak ada henti-hentinya mengayomi umatnya, Mbak Yu Ngat-Nicka-Wati (elegannya saya panggil siapa Mbok?) Yang berhasil mempesona perjaka Alas Roban. Gadis dengan sorot kacamata tajam, Bu Heni yang siap mengabdi pada pribumi Wedari dan sepertinya penulis telah tak sopan jika tak menyebut sesepuh jagad PBA ini, Ibunda Nyonya Aini, Ibunda Martha. Doakan kami nggeh mbak, selekasnya napak tilas jejak njenengan menyempurnakan agama kami. Oh iya, bagaimana kabarmu Dinda uUs? Mau dijodohkan atau mencari jodoh rencananya, huhuuu pancal ndase! Juga Mas Barok, entah berapa kilo beras yang telah kau shodaqohkan pada kami mas? Kaum dlu'afa (asmara). Haha. Semoga Allah melipatkan ganjaran shodaqohmu ya Mas. Mbakyu Ima Tayu!? Wis niliki akta durung? Jadi bener kelahiran 95 tah? Cup cup cup, terus kapan nikahnya kalau umurmu baru menginjak 17 Yu? Mbak Umi, pendiam yang menyimpan mutiara. Diammu benar-benar mematikan, diam inikah yang di dawuhkan Kanjeng Nabi sebagai emas Mbak Um? Dan yang tak terlupakan pula, Neng Khotim, entah kemana pergimu neng? Jangan kagetkan kami untuk kesuksesanmu yang mendadak nggeh.
Yap, begitulah. Lalu, saya yang mana? Penulis ini siapa? Yuhuuu. Mungkin saya adalah orang yang selalu ingin ngelucu namun tak lucu juga, bahkan jadi wagu. Saya adalah orang yang sering berargumen saat kalian presentasi dengan tendensi ngawur tak menjurus. Banyolanku pun saya sadari banyak mengiris hati kalian. Saya ketua kelas yang gagal mengayomi kalian 2,5 tahun lamanya. Yang kalian sebut Mbah Wali namun tanpa karomah, Manusia yang belum juga kelar melepas ke-koplak-annya. 'Ala kulli hal, melalui tulisan ini tak ada kalimat lain selain kata maaf, dan terima kasih atas semuanya.
Temans. Sampai jumpa di dunia maya. Arahan dan ilmu kalian masih diharapkan untuk sekedar saling berbagi. Mari aminkan dan realisasikan do'a Hadlrotus Syaikh KH. R. Asnawi, "Semoga berkumpulnya kita (dulu) merupakan perkumpulan yang barakah, dan perpisahan kita (kini) menjadi perpisahan yang ma'shumah". Amin
Masih banyak mimpi yang harus dikejar, belajar dan belajar. "Melangkah tanpa ragu" kata Mbak Najwa. Terlebih dekade ke-2 dari umur kita merupakan penentu dekade berikutnya kata dosen Psikologi dulu. Namun hidup sepertinya tak selinier itu. Asalkan tertancap konsep pendidikan sepanjang hayat maka tak pandang dekade keberapa umur kita, kita masih harus belajar. Ingatkah kita pada ilmuwan sekaliber Ivan Pavlof, B.F Skiner yang menekuni bidangnya justru diujung hayatnya? Mereka berdua pun -saya kira- tak akan menyangka jika akhirnya menjadi dedengkot para Behaviorian.
Jika PBA kemarin memang bukan pilihan, jika memang Guru bukanlah apa yang kita cita-citakan, maka terasa terlalu dini untuk kita mengeluh semuda ini. Kesempatan pencarian jati diri masih panjang membentang, mau jadi apa kelak masih bisa kita kejar sedari hari ini. Namun, jika memang realitas mengharuskan kita untuk terjun ke dunia pendidikan, bukan yang lainnya!, maka saya lebih condong dengan sebuah adagium cendikiawan muslim Haidar Baghier bahwa "Lakukan semuanya dengan cinta (passion) jika terpaksa tak kau temui kecintaan itu pada sesuatu (dunia pendidikan) itu, maka tumbuhkanlah benih-benih kecintaan kita. Hanya dengan keikhlasan dan niat tulus memberi, saling berbagi pada sesama manusialah yang menjadi sumber kecintaan kita". (Kurang lebih begitu.He)
Temans. Sepertinya memang takdir telah berkata bahwa kita harus berkecimpung dalam dunia pendidikan, mari cintai dunia ini temans. Dunia ini -katanya- tak akan kehabisan stok alasan untuk sekedar kita cintai, dunia yang menghantarkan Ir. Soekarno jadi presiden, Imam Syafi'i jadi ulama besar pun karena dunia ini bukan? Dunia yang digadang-gadang menjadi punjer peradaban semua bangsa. Wal ākhor, mari perlebar pendidikan tak hanya sekedar guru, bangku sekolah. Pendidikan tak sesempit tentang PNS, rapor, kurikulum, diktat, dan buku. Asalkan perilaku kita atau bahkan hidup kita dapat mempengaruhi orang lain dalam kebajikan niscaya di sana ada entitas pendidikan.
Terakhir, saya mengajak mari lagi-lagi kita mengucapkan syukur saudaraku, supaya syukurku dan syukur kalian menjadi syukur yang agung, sehingga dengan bertautannya syukur kita bersama, Allah tak segan menambah nikmat yang lain bagi kita semua. Sembari menengadahkan tangan semoga harapan-harapan masing-masing kita tercapai. Tak lupa pula untuk mendo'akan para Guru, Kyai, dan bu Nyai yang telah mendahului kita. Bukankah salah satu pesan Kyai Sahal pada santrinya ialah senantiasa mendoakan guru-guru kita? Bacakan (minimal) Surah Al-Fatihah di setiap usai shalat maktubah.
Tak lupa, terima kasih kepada para punggawa laman Dhalan Pitedhah yang telah memberi izin untuk menerbitkan tulisan ini di platfom mereka. Mas Wiro, suwun, juga Bang Hadziq, serta owner kita, penjaga gawang laman ini, Aviv suPesi. Terimakasih!.
Dan saya akhiri tulisan ini dengan mari bernyanyi. Lagu dari Iwan Fals dengan judul do'a. Silahkan cari tahu nadanya bagi kalian yang belum pernah mendengarkan lagu ini.
Jrengjreng.
Berjama'ah, menyebut asma Allah.
Saling asah saling asih saling asuh.
Berdo'alah, sambil berusaha.
Agar hidup jadi tak sia-sia.
Badan sehat, jiwa sehat.
Hanya itu yang kami mau.
Hidup rukun penuh gairah.
Mudah-mudahan Allah setuju.
Inilah lagu pujian, nasihat, dan pengharapan.
Dari hati, yang pernah mati, kini hidup kembali.
Rabī auzi'nī an asykura ni'matakalLati an'amta 'alaiya, wa an a'mala shālihan tardlohu bīrahmatika yā arhama arRahimīn. AlLahum aslih bainana wabainahum kama shalahta baina muhajirīna wa ansār.
Āmīn...
Pati, 24 September '17
Yang mengaku temanmu;
Cholik Ibn Suaral
0 Response to "Catatan Akhir Kuliah"
Post a Comment