Malam itu begitu sunyi tatkala Zahir termangu dan menyendiri di pojok kamar kami. Meskipun satu kamar dan kamilah yang paling akrab dengan Zahir dibanding santri yang lain, kami tidak berani mendekatinya melihat kondisinya yang begitu mengenaskan. Dan kami pun terpaksa membiarkan ia menyendiri merenung bertemankan almari dan tumpukan kitab serta pakaian yang menempel di dinding-dinding kamar kami yang menjadi saksi biksu perenungannya.
Malam itu juga bertepatan hari ke-2 Zahir berperilaku seperti ini. Sampai saat ini kami belum tahu menahu sesuatu apa yang sedang menimpanya. Dan saat ini pula kami tidak habis pikir, Zahir yang datang jauh-jauh meninggalkan hingar bingar kota Pekanbaru di Pulau Sumatera, Zahir yang dikenal santri yang riang dan aktif, Zahir yang dikenal pemecah keheningan kamar kami, kamar ulya, bahkan Zahir yang selama ini menjadi aktor pencair keadaan yang genting dipondok kami sejak dua hari ini jatuh tersungkur menjadi Zahir yang suka menyendiri dan suka diam tanpa kata.
Keesokan harinya masih dengan tatapan matanya yang kosong, tubuh yang tidak karuan. Arifin teman saya satu kamar mencoba mendekatinya, dengan sedikit ragu ia bertanya, “kamu sudah makan?”. Dalam bahasa Indonesia Arifin menyapa karena Zahir adalah santri yang masih asing dengan bahasa Jawa. “Ayo makan, nanti saya yang bayar!” timpalnya, “jarang-jarang lho saya nawarin makan gratis pada seseorang”, dengan senyum yang ditujukan pada Zahir ia berkata dengan nada menghibur, “ya sudah kalo ndak mau, saya makan dulu” ia pun pergi dengan mengunci lemarinya seraya memasukan dompet di sakunya.
Kami yang menunggu respon dan kabar tentang Zahir di luar pondok langsung menyambar Arifin. “Fin!” begitu Kang Baidlowi akrab menyapanya, “yaopo keadaane adimu Zahir?”. Karena dianggap nyeleneh oleh Kang Ahmad, Kang Ahmad menasakh pertanyaan Kang Baidlowi, “pye mau Zahir? Iseh koyo ndek wingi tah?”. Sambil sedikit menempeleng kepala Kang Baidlowi, perkataan Kang Ahmad berakhir. Sambil menoleh ke kanan dan kiri Kang Arifin pun menjawabnya dengan jeda 4 detik, “ngene ae, ayok nuk warunge Mbok Darsih ae, omongke neng kono ben enak karo leyeh-leyeh”. Ucapan ini memotong tatapan penasaran kami terhadap kabar Zahir yang aneh akhir-akhir ini. Dan tanpa berdebat kami pun berbondong-bondong menuju warung Mbok Darsih yang ada di depan komplek pondok kami.
Sebelumnya, Zahir adalah santri baru yang dikenal nyentrik dengan aura ke-kota-annya. Gaya bicaranya, sikapnya, gaulnya, bahkan alat elektronik yang selalu menempel padanya seperti gawai terbaru, hal ini berbeda dengan santri yang lain yang hanya menggunakan HP jadul sekadarnya saja. Dan dengan gaya yang seperti ini, ada sebagian santri yang menerima dengan lapang dada meski terkadang mengelus dada terhadap sikapnya itu, seperti kami.
Selain bersikap blak-blakan, begitu terbuka terhadap siapapun, bercandanya yang super, dan sok akrab dengan para santri, ia juga memberlakukan sikapnya itu kepada Kyai. Dan ini yang membuat semua santri ketar-ketir saat melihatnya.
Suatu ketika Kyai sedang wudlu di tempat wudlu umum sebelum shalat berjamaah, hal yang terkadang Kyai lakukan, karena biasanya Kyai mengambil air wudlu di ndalem dan ketika keluar dari ndalem Kyai langsung menuju tempat pengimaman untuk mengimami shalat berjamaah. Pada saat Kyai wudlu di tempat wudlu umum seperti ini, biasanya para santri yang hendak mengambil air wudlu secara otomatis menyingkir dan menunggunya dari kejauhan, sehingga tampak hanya Kyai seorang yang berada di tempat wudlu umum tersebut. Hal ini terjadi secara otomatis karena memang budaya di pondok kami yang begitu hormatnya kepada Kyai sehingga ada rasa ewuh, segan yang mendalam apabila kami berbarengan dengan beliau di tempat wudlu.
Begitu Kyai fokus dalam wudlunya, maka datanglah Zahir, anak kota yang belum begitu kenal budaya pondok. Kami yang melihat kejadian itu sontak tegang dan terkaget-kaget. “Apa yang akan dilakukan Zahir kali ini?”, begitu gumam kami. Dan betapa malu dan terkejutnya kami pada saat itu, Zahir yang datang dari belakang mencoba mengkagetkan Kyai, ekspresi menegangkan kami perlihatkan untuk mencegah perilaku Zahir itu. Dan “dorrrr!!!” begitu Zahir tiba-tiba memegang punggung Kyai yang sedang merunduk mengambil air yang keluar dari keran dan sambil tertawa sumringah iapun berkata tanpa sopan, “haha, Kyai kaget ya?!!” Kyai yang kaget bersamaan ketegangan kami pun menoleh ke belakang “Masya Allah, eee, bocah mbarik, kamu tho? Wis wudlu durung? Hum? Udah wudlu belum?”, sambil melanjutkan basuhan kaki beliau yang sempat tertunda.
Melihat kejadian ini perasaan kami campur aduk tak karuan, dikiranya Kyai akan mencibir perbuatan Zahir anak kota itu, ternyata kami salah dan kami pun melihat bagaimana Kyai akhirnya memantau wudlu Zahir sambil bercengkrama dengannya.
Berbarengan perjalanan kami menuju warung Mbok Darsih ternyata Kang Samsul dengan komplotannya yang diam-diam kontra dan membenci sikap Zahir ternyata masih bercengkrama dan kelihatannya sedang membahasa anak kota itu. “Pye rek? Anak kota iki kog wis ora neko-neko neh?”, sambil memegang rokok yang berada di tangannya ia lanjut mengoceh, “iki lho fotone, aku bar mlebu neng kamare, roh ndekne dewean njur tak foto” .”Up load ae Sul, neng FB”, timpal Ambar yang juga sengit dengan Zahir, “nek perlu tandai kabeh santri pondok kene kabeh”, Kang Aziz yang masih satu geng ikut menyumbang ide, “siji neh” meletakan rokoknya ke asbak lalu merebut HP yang ada foto Zahir, “wenehi keterangan: anak kota yang terlantar, hahaha”, tukas Kang Aziz. Dan tawa pun pecah begitu serunya.
Kami yang sampai di warung Mbok Darsih segera mencari tempat, sedangkan Kang Arifin asyik memesan makanan untuk kami. akhirnya kami temui Kang Azam yang sedang menyendiri dan hanya itu tempat yang tersisa, iya di samping atau berdampingan dengan Kang Azam, mahasiswa universitas di kota ini.
“Kang” Baidlowi menyapanya, “Aku lungguh kene yo”, tanpa jawaban pasti kami duduk berputar membentuk lingkaran kecil. “Pye iki? Zahir, sing anak kota iku lho, durung mari ngasek iki, iseh nyungsep ae neng kamar, meneng. Nganti marakke khawatir kita-kita iki lho Kang sebagai koncone”. Kang Azam yang terkenal dengan wawasannya yang luas lintas disiplin ilmu itu sedikit berkomentar, “yo ngono lah wong kota, sistem pengajare dewe mestine karo kene. Ono anggepan guru iku konco, dadi yo guru iku iso dinggo dolanan bareng, sinau bareng, dan sebagainya”. Termangu saya mendengarnya, ia pun melanjutkan penjelasannya, “dadi ora usah kaget yen ndek wingi-wingi ndekne (Zahir) ngaget-ngageti Kyai pas wudlu, marai Kyai iku dianggep konco”, sesekali Kang Azam mengangkat rokoknya untuk dihisap, “saiki yen ono kejadian ndekne berubah, kita khusnudzon ae, mungkin iki titik kanggo adaptasine ndekne karo budaya pesantren, ngkow sue-sue yo mari dwe, tenango! Tenanggo!”.
Sambil menunggu Arifin yang memesan makanan, datanglah Fauzan yang langsung menghadap saya, “Kang, sampean ditimbali Kyai”. Tanpa menunggu lama saya bergegas menuju ndalem, akan tetapi niat itu saya urungkan mendengar Kang Ahmad yang sambil memegang HPnya dan membuka FB berkata, “rene lho rek, deloko iki kelakuane Samsul, ng-up load fotone konco dewe sing iseh sedih, Zahir”. Sambil melimperlihatkan kepada Kang Azam, Fauzan, Baidlowi saya pun ikut melihatnya. Dan betapa ibanya kami melihat foto teman sekamar kami Zahir dipajang di FB dengan keterangan “anak kota sing terlantar”, dimana sikap dewasanya mereka. Bukan menenangkan malah membuat onar seperti ini.
Setelah saya selesai melihat foto tersebut, lalu bergegaslah saya menemui Kyai, sepanjang perjalanaan ke ndalem saya berfikir, “apakah Kyai menanyakan Zahir?”. Karena memang saya adalah salah satu orang yang dianggap paling dekat dengan anak kota itu juga dekat dengan Kyai, “Ataukah ini ada hubungannya dengan foto tadi?”.
Di kejauhan nampak Arifin dkk sedang menuju pondok, saya pun mulai berfikiran, apakah mereka mau menemui Samsul? Menindak tindakan Samsul itu?. Sesampainya di ndalem saya langsung didawuhi Kyai, “le, tolong ungdangke Samsul!”. Tanpa banyak komentar saya pun menjawab titah beliau “nggeh Kyai” seraya bergegas ke kamar Samsul, kamar sebelah saya. ”Iya kan, benar, ini pasti ada kaitannya dengan Zahir dan perilaku Samsul”, pikir saya dalam hati. Karena bagaimanapun, meskipun Zahir dianggap kurang sopan, Kyai terlihat senang dengan kedatanggannya disini, menurut pandangan kami, Kyai selama ini agak bosan dengan perilaku para santri, setidaknya sikap Zahir yang terbuka, riang, dan akrab dengan Kyai layaknya temannya membut Kyai terhibur, sering beliau menghabiskan waktunya bersama Zahir sekedar bercanda, dan sesekali mereka berdua terlibat dalam diskusi masalah agama.
Jadi tak menjadi barang yang berlebihan jika saya menganggap Zahir itu santri kesayangan Kyai. Ia bagaikan Seno dalam pewayangan yang tidak memiliki sopan santun pada Raja, yang tak berbahasa kromo pada Raja, akan tetapi Sang Raja tenyata kebingungan saat Seno tak berkelakuan seperti itu, Raja rindu nakalnya Seno.
Sesampainya di kamar, betapa kagetnya kami melihat gaduhnya kamar Samsul. “Ternyata dugaan saya tadi benar, Arifin dkk mau menghakimi Samsul”, kata hati saya. Tanpa mengambil izin dan permisi saya langsung menghadap Samsul, “Sul!, kon ditimbali Kyai”. “Ono opo? Teng pundi Kyai? Ndalem?”, balas Samsul bertanya dengan nada takut. dan keadaan yang semula gaduh berubah menjadi hening. ”Wis tho sul! Ora usah sok ora ngerti, kon iku ameh didukani Kyai, gara-gara lakumu ng-up load foto!”, Arifin yang geram menjawab pertanyaan yang sebenarnya disodorkan kepada saya. Akhirnya saya dan Samsul pun menuju ndalem menemui Kyai.
Sesampainya di ndalem betapa terkejutnya kami berdua, ternyata disitu sudah ada Zahir yang termangu dan tunduk berdiam diri diatas kursi. “Samsul! Iki perilakumu? Ng-up load fotone wong sembarangan, nggawe isine wong, ngrendahno derajate wong neng ngarepe wong akeh?!!”. Kyai yang diam-diam memantau muridnya di FB berkata dengan nada tegas dan meletakkan HP beliau di atas meja dengan sedikit keras. Suasana diam di antara kami berempat pun berlanjut tatkala Samsul yang hanya diam tidak mau menjawab pertanyaan yang dilontarkan Kyai.
“Tidak Kyai, saya berubah sikap dengan saya yang dahulu bukan karena perbuatan Kang Samsul yang meng-up pload foto saya”, dengan nada yang tenang Zahir pun berkata. “Terus kenapa cah mbarek?”, Kyai gantian bertanya. “Ya sudah, Samsul, kamu kembali ke kamar, biar saya yang ngobrol dengan Zahir”, begitu timpal Kyai.
Saya yang merasa tidak memilki peran pun bingung mau berbuat apa, akhirnya saya putuskan untuk tetap di situ setia menjadi pendengar sekaligus pemirsa drama yang begitu dahsyat ini. “Begini Kyai”, Zahir membuka pembicaraan, “selama ini saya berdiskusi dengan Kyai masalah agama, terkadang saya sampai pada kesimpulan bahwa pasti ada hikmah dibelakang hukum-hukum Islam”. Melihat Pak Kyai duduk terfokus pada pembicaraan Zahir, saya ikut khusyuk mendengarkan Zahir berbicara setelah dua hari tak berbicara. “Seperti sholat yang diwajibkan dan ternyata ada penelitian yang menemukan bahwa shalat itu menyehatkan, lalu ada lagi arak yang diharamkan yang ternyata arak itu banyak merugikan bagi kesehatan, dsb”. Zahir kembali berucap, “kemarin saya menemukan beberapa halaman di internet berupa hasil penelitian yang mana itu sangat bertentangan dengan hukum Islam, seperti rokok yang diperbolehkan dan ternyata ada bahaya rokok yang sangat banyak”, ia melanjutkan pembicaraan, “setelah saya berfikir lebih dalam banyak juga hukum Islam yang tidak dilaksanakan di dalam sistem negara kita, ada hukum memotong tangan bagi pencuri, membunuh orang yang berzina, dll. Apakah ini berarti hukum Islam itu tidak sesuai dengan manusia saat ini? Apakah Islam tidak manusiawi?”, jelas Zahir tentang semua hal yang membuatnya merenung selama ini.
Mendengar rentetan pertanyaan itu, Kyai tersenyum dan sejenak berfikir, mulai dari mana menjawab pertanyaan murid beliau itu. Bersampingan dengan itu, sunyi senyap menghampiri ruangan kami. “Jadi begini cah bagus”, begitu Kyai memuji muridnya, “agama itu sam’an wa tho’atan, artinya saat ada perintah yang ada di dalam agama, perintah shalat, zakat, dilarang minum minuman keras, kita ya sam’an gitu aja, dengarkan saja perintah itu, fahami dengan baik, setelah faham langsunglah kita tho’atan, nurut apa yang didawuhkan agama, tanpa harus takalaman atau berbicara untuk apa kita sholat? Untuk menyehatkan badankah? Atau apakah? Akan tetapi memang agama itu rahmat bagi seluruh alam, jadi pasti ada tujuan tertentu untuk melaksanakan kegiatan beragama, kalau toh ada kegiatan yang belum diketahui hikmahnya maka ya memang ilmu kita saja yang belum cukup untuk mengetahuinya”. Sambil mengangkat gelas dan meminum kopi yang berada di depan beliau. Beliau menambahkan “dadi cah bagus, mumpung masih muda, belajarlah ilmu yang banyak, biar kau tahu rahasia-rahasia yang ada dalam agamamu karena agamamu diturunkan supaya manusia bisa hidup di dunia dengan bahagia, bukan malah agama menjadikan hidupmu gersang”, panjang lebar penjelasan Kyai penuh makna.
Saya yang agak bingung tentang dawuh Kyai ini dan masih mencoba untuk mencerna apa yang Kyai dawuhkan jadi tambah bingung melihat Zahir yang senyumnya.
0 Response to "Zahir"
Post a Comment