Bersholawat adalah salah satu ibadah yang dianjurkan atau disukai oleh baginda Nabi Muhammad SAW. Bahkan dalam Al-Qur'an, Allah Yang Maha Agung dengan segala keagunganNya juga bershalawat (menghaturkan shalawat) pada baginda Nabi. Meski sholawatNya bukan lagi ibadah seperti halnya kita bersholawat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Sesungguhnya Allah dan Malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” [Al-Ahzaab: 56]
Terkait lafadz sholawat, maka selama ada redaksi yang mengarah pada penghaturan shalawat dan salam pada baginda, maka hal tersebut sah-sah saja dihitung sebagai shalawat. Dalam hal ini, maka pelafalan shalawat tidak dibatasi pada allāhumma sholi 'ala Muhammad, atau lafadz-lafadz sholawat yang telah dicontohkan nabi sendiri dalam hadist beliau.
Karena perluasan batasan lafadz shalawat ini, maka banyak sekali muncul lafadz-an sholawat yang berupa natsar (ucapan tak bernada) atau berupa syi'iran, nadzom, dan lainnya. Sebagian dari lafadz sholawat itu dinamai pada pengarangnya atau cerita yang mengiringi lahirnya shalawat tersebut seperti Shalawat al-Barzanzi, shalawat Idrokiyah, shalawat Burdah, shalawat Simtu ad-Duror, shalawat Nariyah, shalawat Badar, dan lain sebagainya. Bahkan kita sendiri mungkin sah-sah saja menciptakan shalawat untuk mencerminkan kerinduan, dan kecintaan pada baginda Nabi.
Perdebatan yang muncul dari lafadz shalawat adalah bisakah bershalawat dengan lafadz lain di luar apa yang telah Nabi contohkan? Bahkan ada yang sampai melarang penggunaan lafadz sayyidina sebelum lafadz Muhammad saat kita bershalawat, karena Nabi tak mencontohkan demikian. Baiklah, kita memang diharuskan menjalankan apa yang baginda Nabi tetapkan atau dan keluar dari hal itu, maka kita bisa masuk dalam amalan bid'ah. Namun, bagaimana derajat qaul Nabi di samping Al-Qur'an? Bukankah sumber pertama agama itu adalah Al-Qur'an? Jika iya! Maka, lafadz shalawat yang benar adalah "innaLlāha wa malāikatahu yushallūna 'ala nabī yāa ayyuhalLadzīna āmanusShallū 'alaihi wa yusallimū taslimā" karena ini shalawat yang termaktub dalam Al-Qur'an. Atau untuk bid'ah, sebaiknya kita harus memahami secara kaffah apa bid'ah itu. Anda sendiri faham kan? Nisbatnya kita yang tak faham, cukup melihat praktek shalawat yang telah dilakukan para ulama besar dahulu. Mereka menggunakan bahkan menyebarkan dan mengarang bermacam-macam shalawat yang kami tulis di atas, atau cukup kiranya kita membaca kitab-kitab kuning karangan ulama yang bahkan menganjurkan pelafalan kata 'sayidina' sebelum nama baginda Nabi.
Shalawat adalah ibadah yang mulia, saking mulianya, ada sumber yang mengatakan bahwa ibadah ini bisa dilaksanakan kapan dan dimana saja, atau bahkan dengan cara bagaimana saja. Lebih lanjut, qīla, pahala shalawat tetap sah tatkala kita melakukannya dengan tanpa kekhusyu'an hati, hingga bershalawat dengan riya' (pamer) pada hamba lain juga sudah dianggap sah shalawat kita.
Praktik shalawat yang telah membudaya dan rutin dilakukan, khususnya dikalangan Nahdhiyyin (NU), adalah dengan membacanya bersama-sama, besamaan itu, shalawat diiringi musik, karena kebetulan shalawat ini berupa syi'ir-an. Lazimnya kita, menyebut praktik semacam ini dengan 'shalawatan'. Banyak kalangan yang tanpa melihatnya secara mendalam lalu memberi penilaian haram, sia-sia, atau bahkan shalawatan sumber maksiat karena telah sangat jauh melenceng dari esensi bershalawat. Mereka memberi perspektif miring untuk praktik tetsebut.
Dalam praktiknya, shalawatan memang dilakukan bersama-sama, dalam artian, para pecinta shalawat ada dalam satu majelis, laki-laki dan perempuan terkadang duduk bersila berdampingan tanpa satir. Hal ini memicu hal-hal yang tidak diinginkan. Namun, menyalahkan shalawatan atas dalih ini tanpa melihat secara jeli merupakan tindakan yang tidak dibenarkan. Kita keluar dari rumah menuju majelis shalawat sudah dengan niat teguh untuk beribadah, bershalawat pada manusia agung tercinta, baginda Nabi Muhammad SAW. Atas modal niat yang kuat ini, maka dimensi kita berbeda meski harus duduk berdampingan laki-laki perempuan bukan muhrim di malam hari. Kita sudah disibukkan dan tenggelam dalam bershalawat, melakukan hal yang tercela menjadi sangat tidak dibenarkan dan tak mungkin dilakukan. Pernahkah anda melihat praktik haji di Makkah? Bukankah para jamaah berdesak-desakan? Sebagian dari mereka semua bukan muhrim? Namun, melakukan hal yang tidak diinginkan adalah hal yang mustahil karena jama'ah haji sudah punya niat yang kuat untuk beribadah pada Rabbnya. Nyatanya, tak ada kejadian yang dikhawatirkan terjadi saat haji. Iya, dimensinya telah berbeda.
Hal lain yang muncul adalah, statement sholawatan yang sudah keluar dari koridor bershalawat. Ini nampak tatkala jama'ah melambaikan tangan, badan bergerak ke kanan ke kiri saat shalawat diperdendangkan. Namun, lagi-lagi, mari kita melihatnya dengan jeli. Pernahkah anda mendengar kisah seorang ulama' agung yang suka bermain piano? Saat ditanya tentang hobinya itu, sang ulama menjawab: "dengan bermain piano sebenarnya saya selingi berdzikir". Berdzikir sambil berpiano ternyata menghantarkan sang ulama mencapai derajad wusul berdzikir pada Allah SWT. Piano menjadi semacam wasilah saja untuk "men-sukses-kan" misi berdzikir, atau pada titik tertentu, piano bukan apa-apa lagi, karena telah menemukan hal yang utama, yaitu berdzikir.
Sedikitnya, itulah yang penulis rasakan saat mengikuti majelis bershalawat. Dengan sorak-sorak sholawat yang keluar dari jama'ah yang lain, diiringi musik, dilengkapi sound system yang mantab, sholawat yang kami baca serasa sangat mengena di hati, kita benar-benar mengahayati setiap lafadz yang kita lantunkan, kita setingkat begitu rindu baginda Nabi atau minimal berbeda rasanya saat penulis bershalawat sendiri, tanpa iringan musik pula.
Yang menjadi persoalan ialah, ibadah sholawatan itu tetaplah sunah, pertanyaanya, apakah dengan over melakukan sholawatan yang nisbatnya sunah, maka kita justru terjerumus pada terbengkalainya ibadah yang lain, yang sifatnya wajib? Atau dengan praktik semacam itu, para jama'ah bisa membentengi diri sendiri agar tak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Pengalaman penulis, majelis sholawatan semacam di atas banyak diminati oleh para santri dan kalangan muda. Dengan rutinnya mereka mengikuti majelis shalawat di sana sini, apakah itu bukan justru mengganggu kewajibannya sebagai seorang santri, mereka masih harus belajar, mengaji, bersekolah. Atau, tanpa belajar, penulis rasa penghayatan bersholawat untuk setiap lafadz sholawat kok akan sulit digapai oleh para santri tanpa mengaji dengan serius. Singkatnya, jangan sampai mengabaikan ibadah yang utama.
Semoga penulis dan semuanya juga diberi kekuatan untuk itu.
Wa Allāh A'lam...
0 Response to "Meluruskan Perspektif Miring Tentang Sholawatan"
Post a Comment