1. Merindu berarti merasa hampa dan ingin bertemu pada sesorang yang dulu berada, hadir, mewarnai kehidupan sang perindu. Iya, merindu bukan berarti 'kehilangan' orang yang dulu pernah kita rasakan keberadaannya. Beliau yang kita rindukan itu masih ada, masih dalam nadi, dan denyutan darah yang mengalir pada diri kita, atau bahkan senada dengan setiap helai nafas kita. Jangan sekali-kali mengartikan rindu adalah buah dari kehilangan. Hadrotus Syaikh Nasrun, Syaikh Muhammad Ubaidah Nasrun, Syaikh Sulaiman Nasrun. Mereka masih, dan mereka ada. Namun, untuk saat ini, dimensi mereka berbeda dengan kehidupan kita. Jangan terjebak oleh rindunya para penyair nyanyian anak remaja kini. Mari merindu beliau, kami rindu. Dan! Senada dengan Sujiwotedjo yang berkata: "Apa puncak kerinduan kita pada kemuliaan beliau kecuali kita letakkan mahkota kerinduan itu dengan wujud Do'a?" Mari sejenak untuk berdo'a berharap rahmatNya teruntuk beliau, meskipun do'a itu sendiri terkadang terlihat kurang etis. Mendo'akan orang yang lebih mulia daripada diri ini yang masih hina? Beliau masih ada, masih hidup dengan rahmat Allah yang Allah limpahkan pada beliau-beliau. Karena penulis yakin beliau sebagian dari sekian waliyullah yang la khaufun wa la hum yahzanun itu.
2. Sebagai walinya Gusti Allah, beliau dianugrahi banyak karomah. Banyak manaqib yang sifatnya lisani (perantara melalui tutur bicara). Dan itu masih diperdendangkan, masih membekas pada masyarakat sekitar. Penulis sendiri sudah beberapa kali mendengar sebagian dari karomah-karomah tersebut. Namun penulis lebih tertarik dengan karomah yang saat ini masih dan semoga langgeng sampai yaumul qiyamah. Bagi anda yang masih ragu akan kewalian beliau, mari lihat dan datanglah ke desa Pagerharjo - Wedarijaksa - Pati - Jawa Tengah. Di atas bumi itu berdiri bangunan madrasah yang setiap waktu menyibukan manusia-manusia di dalamnya mengkaji ilmu pengetahuan. Iya, madrasah itu buah karya dari kehebatan insan mulia. Wali Allah yang tak "terpincut" dunia sedikitpun. Sampai saat ini madrasah ini masih eksis dengan kajian kitab ulama'-ulama' dulu, salafus shalih. Penulis juga masih berkeyakinan dan tanpa ragu, tanpa karomah yang "melabeti" (membekas) madrasah ini, maka mustahil kiranya jika sampai detik ini ushul fiqih, manteq, qowaidul fiqih, ilmu hadist, dan ilmu-ilmu lain yang mulai tak laku, namun bagi madrasah ini masih terus dikaji dan diajarkan. Tak mungkin, lagi-lagi penulis yakin, kesemua itu buah dari keikhlasan beliau saat mendirikan madrasah ini, juga buah dari unsur la haufun wa la hum yahzanun yang mamtab tertancap pada sanubari beliau. Lalu? Masihkah meragu dengan kewalian beliau itu?
3. Jika anda sampai madrasah itu dan tak menemukan hal-hal tersebut, maka tenanglah. Iya, selain ilmu agama, para guru di madrasah ini juga mengajarkan ilmu umum yang lainnya, masih pula mengajari murid-muridnya untuk menguasai teknologi, keterampilan, bermusik, dan lain sebagainya. "Alaikum bi syi'ar wad diyar". Kita hidup di dunia dengan tanggung jawab memenuhi kewajiban Sang Rabb Maha Pengasih. Di samping hal itu, tentunya kita juga tak lepas dengan tanggung jawab memenuhi kebutuhan duniawi diri kita masing-masing. "Siapa yang menginginkan dunia maka harus menguasai ilmu dunia, siapa yang berharap akhirat juga harus menguasai ilmu akhirat, dan siapa yang menghedaki kedua-duanya maka wajib memiliki ilmu tentang kedua-duanya". Salahkah jika santri juga belajar ilmu-ilmu dunia itu? Atau masih relevankah jika madrasah hanya mengajari ilmu agama saja? Persoalannya bukan salah benar, selama madrasah bisa bertawazun (menyeimbangkan) dan masih ingat perannya sebagai lembaga untuk bertafaquh fi diin, bukan malah keblanjur mementingkan ilmu duniawi, maka kami rasa hal tersebut akan bail-baik saja.
4. Penulis adalah salah satu alumni (atau penulis lebih sreg menyebut sebagai bagian keluarga) madrasah tersebut. Meskipun, malu rasanya harus mengakuinya melihat sampai saat ini penulis belum juga melepas masa "Kucluk"nya ini. Namun entahlah, anda yang sama-sama merindu, mari bersama sejenak membacakan surat Al-Fatihah kagem beliau.
Kagem bah Nasrun*, bah Muhammad Ubaidah Nasrun*, bah Sulaiman Nasrun*. Al-Fatihah....
NB:
*Ketiganya merupakan muasis (pendiri) Madrasah Bustanul Ulum Pagerharjo-Wedarijaksa-Pati-Jawa Tengah
Ditulis dari berbagai sumber, jika terdapat kesalahan, hal itu murni kesalahan dan tanggung jawab dari penulis.
0 Response to " Rubaiyat Rindu Kagem Bah Nasrun"
Post a Comment